Malam ini, hatiku berkelana kembali ke ruang atas, tempat di mana aku merasakan kehadiran-Mu begitu nyata. Aku melihat para murid-Mu bersembunyi, takut dan sedih setelah peristiwa penyaliban. Tapi aku tak bisa bersembunyi, hanya air mata yang mengalir di pipiku, membasahi hatiku yang terluka. Langit mendung, seperti hatiku yang dipenuhi kesedihan. Lalu, imajinasiku membawaku ke rumah retret Jedong, tempat yang begitu istimewa bagiku.Â
Di sana, aku merasakan kehadiran-Mu begitu dekat, seperti saat ulang tahunku dulu. Aku melihat tangan dan lambung-Mu, tanda kasih-Mu yang tak terhingga. Senyum-Mu, oh, senyum-Mu yang begitu hangat dan menenangkan, seperti mentari pagi yang menyapa bumi. Aku mendengar suara-Mu, lembut dan penuh kasih sayang, "Halo, Priska." Kita duduk berdampingan, dan aku merasakan kehangatan cinta-Mu yang menyelimutiku. Aku berbisik, "Tuhan, besok aku akan menghadapi UTS, tapi aku takut gagal." Senyum-Mu, senyum yang penuh kepercayaan, menenangkan hatiku. "Kamu bisa melakukannya dengan benar, Aku percaya padamu," bisik-Mu.Â
Air mata bahagia mengalir deras, karena aku merasakan cinta-Mu yang begitu besar, yang menyingkirkan semua ketakutan dan keraguan. Akhirnya, kita berjalan-jalan di tepi air, dan aku merasakan kebebasan dan kedamaian. Kau memotretku, dan aku merasa begitu bahagia, seperti anak kecil yang sedang bermain bersama ayahnya. Tiba-tiba, kenangan-kenangan hari ini berputar di benakku. Aku berusaha melepaskan diri dari semua kekhawatiran dan keraguan, dan berbisik dalam hati, "Aku tinggal dalam cinta-Mu. Aku tetap berdoa." Kau mengajakku ke tempat yang putih, tempat yang memancarkan cahaya kasih-Mu. Perlahan, Kau menghilang sekejap, dan aku mendengar suara-Mu yang lembut, "Aku tinggal di dalam hatimu, Priska." Lalu, aku kembali ke masa sekarang dan mengakhiri doaku dengan "Bapa kami."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H