Mohon tunggu...
Priscilia Chandrawira
Priscilia Chandrawira Mohon Tunggu... -

Penulis penderita penyakit malas akut\r\nhttp://smallcandles.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(FiksiHorror) Aroma

13 Mei 2011   13:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:45 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kedua mata tuaku yang lamur nyaris buta sudah jarang sekali kugunakan sekarang, sebab telah ada indera lain yang menggantikan tempatnya. Bukan telinga yang mendengar atau tangan yang meraba, melainkan hidung… ya, hidung. Karena penciumanku, tak tahu mengapa, lebih tajam dari kebanyakan orang. Seperti anjing.

Mungkin pada kehidupan sebelumnya, kamu adalah anjing, A Wei… Begitulah teman-temanku meledekku dulu. Namun tak mengapa, aku tak masalah dikait-kaitkan dengan anjing, sekalipun di kampungku ini anjing biasanya dianggap sebagai hewan pembawa sial. Sejak kecil, aku sudah merasa antara diriku dan anjing ada pertalian yang tak terputuskan. Aku menyukai mereka, dan anjing seganas apapun bisa jadi domba jinak di hadapanku. Aku memelihara seekor anjing kampung yang kunamai Jiajia.

Ada yang menarik di balik kisahku memelihara Jiajia. Di kampungku yang miskin, penuh takhayul, dan pembenci anjing ini, sebagian besar anjing liar akan mengalami nasib sama: berakhir di wajan, panci, atau panggangan. Sekitar lima tahun silam, kala mataku belum serabun ini dan jalanku masih gagah, Jiajia sendiri tadinya hampir ditangkap dan dimakan oleh tetanggaku, A Bing. Aku berlari mendapati anjing malang berbulu coklat kotor berbau apak itu dan memeluknya.

“A Bing, biar kuberi kau sedikit duit, belilah makanan lain buat menumu sore ini,” kataku padanya.

Wajah A Bing merah menyembunyikan gusar. “Terus mau kau apakan anjing buduk ini? Mau kau pelihara, begitu?”

Aku ragu sesaat, kemudian mengangguk.

“Cih… kepala pasukan anjing,” A Bing ngeloyor pergi sembari meludah ke tanah.

Sejak saat itu, Jiajia menjadi anggota keluarga baru di rumahku. Istriku sudah meninggal, dua putriku sudah menikah dan pindah ke kota lain. Tinggal aku dan putra bungsuku, A Long, yang usianya masih belasan. A Long, seperti halnya penduduk lain, juga tidak terlalu suka anjing, namun apa boleh buat, bapaknya cinta setengah mati pada binatang itu. Tatkala kuboyong Jiajia ke rumah, pandangannya adalah campuran jijik dan tak suka, tapi akhirnya sorot mata itu melunak.

“Cukup satu ekor ini saja ya, Pa,” katanya singkat, mendesah dalam penerimaan yang sulit.

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Jiajia, selamat datang di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun