Mohon tunggu...
Priscilia Chandrawira
Priscilia Chandrawira Mohon Tunggu... -

Penulis penderita penyakit malas akut\r\nhttp://smallcandles.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan yang Katanya Durjana Itu

1 Maret 2012   11:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:41 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepanjang jalinan memori setiap orang, desa ini selalu damai dan orang-orangnya santun lagi menjunjung norma. Jalinan benang itu kini baru saja diputus. Oleh perempuan yang puting dan pahanya sering ia pamerkan ke mana-mana itu.

Mengenai perempuan ini (kami menyebutnya perempuan, bukan wanita, sebab ia terlalu tidak terhormat untuk menyandang sebutan penuh penghargaan itu: wanita), tidak diketahui jelas dari mana ia datang dan mengapa. Ada yang terang-terangan bilang dia sundal pelacur. Versi yang lebih sopan mengatakan bahwa ia bintang film (sangat mungkin film porno, mereka menambahkan dengan bersemangat) yang muak dengan hiruk-pikuk dan gerlap lampu perkotaan yang kelewat silau. Tapi mengapa desa kami? Orang-orang bertanya-tanya penuh kekesalan dan kebencian tertahan. Mengapa harus desa kami yang aman dan penuh norma yang ia pilih? Kenapa ia tidak langsung saja ke rumah bordil atau desa lain yang moral penduduknya sudah terpuruk seperti halnya ia?

Kepala desa dengan bijak menyimpulkan, “Iblis tak perlu mendatangi orang jahat yang sudah jadi sekutunya. Pastilah ia akan mengganggu orang-orang baik, berusaha membuat mereka meninggalkan jalan kebaikan.... Kita tidak bisa menggebah Iblis, kita hanya bisa bertahan dari godaan-godaannya. Inilah hidup manusia, harus kita jalani.”

Dia telah mengatakan hal yang paling ingin didengar orang, maka penduduk lain mengangguk-angguk setuju. Namun bahkan saat mereka mengangguk, sesuatu yang tak dikenal melintas bagai kilat pada mata mereka, entah lelaki maupun perempuan, entah tua atau muda. Dan sejak itu atmosfer desa ini tak pernah sama lagi.

Sesuatu senantiasa melintas di mata para penduduk saat perempuan itu lewat, meninggalkan harum parfumnya yang menyengat di belakangnya. Sesuatu membuncah di dada. Sesuatu berusaha mengambil wujud entah dalam liur untuk meludahi perempuan itu atau kata-kata kotor untuk memakinya, namun tak ada yang berhasil memanifestasikan diri. Norma harus dijaga. Maka dengan pahit mereka memalingkan wajah dan berpura-pura tak terjadi apa-apa. Tetapi senyum dan keramahtamahan sudah lenyap dari sana, tinggal tersisa lautan yang keruh dan getir pada setiap raut muka.

Perempuan itu muncul lagi. Kali ini dengan pakaian yang begitu minim dan ketatnya sampai kaum pria tidak tahan untuk tidak menaksir mengira-ngira seberapa ranum dan besar dan manis buah yang menggantung pada dadanya, dan bahkan menebak-nebak warna celana dalamnya. Kaum wanita, yang bahkan tak pernah membayangkan diri mereka dalam potongan pakaian itu, dan selalu berpakaian sopan tertutup, hanya mendengus. Kali ini mereka tidak menyembunyikan tatapan mereka yang penuh emosi, dan “sesuatu” dalam mata mereka itu kini sudah memiliki wujud baru: dengusan. Para pria mendengar dengusan itu dan mata mereka yang tadinya nyalang kembali merunduk, berusaha menyembunyikan apa yang baru saja mereka tak sengaja perlihatkan.

Dengusan menjelma kata. Awalnya sayup, perlahan kian keras kian jelas, diperbincangkan di pasar, di jalan, di rumah oleh wanita-wanita yang sekarang jadi sering melupakan kewajiban mereka mengurus rumah tangga. Bergosip dengan tetangga jadi lebih penting ketimbang memasak mencuci.

Para pria lebih diam. Dalam bahasa sunyi itu, mereka saling memahami. Ya, hanya dalam senyap segala rasa ini boleh didedahkan. Membicarakannya dengan bahasa kata adalah tabu yang mencabik-cabik tenda norma yang selama ini mereka dirikan dan junjung tinggi. Tapi yang ditahan oleh lidah tak bisa lagi disembunyikan oleh mata, tidak dapat pula menyumbat hidung mereka yang, entah kenapa, kini bernapas dengan tempo allegro yang memburu. Dan degup jantung mereka tak ubahnya detak jam dari sebuah bom waktu.

Bom itu akhirnya meledak. Istri bertengkar dengan suami. Anak-anak menangis ketakutan. Tidakkah ini benar, bahwa perempuan durjana itu membawa Iblis bersama dengan bibir tebalnya yang merah kesumba, susunya yang putih ranum, rambutnya yang sutera melambai, tungkainya yang jenjang dan halus mulus? Semua keindahan itu, yang ia pertontonkan tanpa malu tanpa rasa berdosa. Bukankah ia yang membawa hawa jahat ke desa ini?

* * *

“Ke mana perempuan itu?”

Seolah pertanyaan yang disampaikan semata karena penasaran itu merupakan wahyu, seisi desa akhirnya menyadari bahwa perempuan durjana itu telah menghilang. Tak seorangpun tahu atau yakin sejak kapan, karena mereka telah terbiasa menghindar jika si perempuan lewat.

“Rumahnya?”

Rumah bercat putih itu terkunci.

“Ada kemungkinan dia di dalam?”

Tentu saja kemungkinan itu selalu ada, namun mendobrak pintu orang lain akan menyalahi norma.

“Tapi baguslah kalau dia sudah tidak ada lagi di sini.”

Kepala desa membubarkan massa yang berkumpul di muka rumah si perempuan. Mereka pergi dengan penasaran bercampur lega. Pelan-pelan, kenormalan dan kedamaian kembali ke desa yang sempat ternoda oleh kehadiran sundal itu.

* * *

Ada yang tengah menangis. Tangisan itu, yang bukan isakan maupun sedu-sedan emosional, melainkan lengkingan polos berirama, bergema pada cakrawala hitam pada bumi coklat.

Istri kepala desa terbangun. “Mas....” Ia mengguncang-guncang tubuh suaminya. “Anak-anak apa ada yang nangis?”

“Mana ada...,” sahut kepala desa sekenanya. Ia baru setengah bangun.

Suara tangisan itu terdengar lagi, lebih keras, lebih tinggi.

“Tuh kan ada,” desak sang istri.

Kali ini kepala desa juga mendengarnya. Ia bangkit dari posisi berbaringnya. Keningnya berkerut, namun akhirnya pupilnya melebar menandakan kemengertian. “Ah... benar juga... tapi kayaknya dari luar rumah....”

Terdengar ketukan keras di pintu depan. Kepala desa, masih mengenakan piyama, membukakannya, dan mendapati beberapa penduduk berdiri di muka pintu rumahnya. Ekspresi mereka cemas gelisah. “Kami mendengar tangisan, Pak Kades,” kata seorang pemuda. “Sepertinya dari... dari rumah perempuan itu.”

Pupil kepala desa melebar lagi. “Rupanya dia memang masih ada di dalam rumahnya,” katanya menyimpulkan. “Ya sudah, kita ke sana sekarang.”

Bahkan menghancurkan pintu rumah orang pun diizinkan pada saat-saat mendesak. Para pria mendobrak terbuka pintu itu dalam sekitar lima detik.

Tangisan. Semakin jelas.

Bau. Bau logam asin amis.

Semuanya berasal dari dalam sebuah kamar terkunci. Kali ini kepala desa sendiri yang mendobraknya.

“Ah....”

Perempuan itu, perempuan durjana itu, terkulai telanjang mengangkang di atas dipan, bersimbah darah. Sebilah pisau di tangannya. Sesosok makhluk kecil yang juga bermandi darah bergerak-gerak lasak dan menangis melengking di antara selangkangannya. Tali pusarnya telah dipotong sendiri oleh ibunya.

Belasan warga terperangah melihat pemandangan itu. Si perempuan durjana telah mati, meninggalkan bukti hidup kedurjanaannya. Bayi.

Mereka membungkus dan menyingkirkan tubuh si perempuan. Bayi itu dimandikan dan sisa tali pusarnya diikat. Semuanya dilakukan tanpa bicara, sebab ini terlalu mengejutkan dan menakutkan bagi warga desa yang biasa hidup tenang tenteram.

“Lalu akan kita apakan bayi ini?” seorang wanita akhirnya memecah sepi.

Pendapat warga terbagi. Ada yang menganggap bayi ini titisan Iblis, sama seperti ibunya, dan sebaiknya si bayi dibunuh saja. Yang lain berpendapat ini terlalu kejam, bayi tak boleh menanggung kesalahan orang tuanya. Di sisi lain, kedua belah pihak sama-sama tidak sudi mengadopsi si bayi (panti asuhan tak ada di desa ini, jadi opsi ini tidak terpikir oleh mereka) yang notabene adalah anak haram dari seorang perempuan durjana.

“Kalau begitu,” kepala desa menengahi, “biar Gusti Allah sendiri yang memutuskan nasib anak ini.”

Penduduk terdiam, mereka memandangi kepala desa dengan penuh tanya.

“Kita letakkan bayi ini dalam keranjang dan hanyutkan ia di sungai dekat desa. Kalau Gusti Allah berkehendak ia hidup, akan ada orang baik yang memungutnya. Jikalau sebaliknya... biarlah ia tenggelam atau mati kelaparan,” sambung kepala desa, bicaranya agak lebih cepat dari yang ia maksudkan. “Seperti Nabi Musa,” ia buru-buru menambahkan.

Warga diam sejenak, lantas mengangguk-angguk setuju. Ya, seperti Musa, hanyutkanlah ia dalam keranjang. Jikalau ia hanya bayi tak berdosa seperti halnya Musa, Tuhan akan menyelamatkannya seperti halnya Dia menolong Musa melalui tangan putri Firaun. Bila ia ternyata anak Iblis, kutuk Tuhan akan ada di atasnya. Biarlah ia mati. Biarlah ia musnah dan terlupa.

Rencana brilian kepala desa segera mereka laksanakan secepat yang mereka bisa. Demikian buru-buru mereka, sampai-sampai tak seorangpun sempat memperhatikan atau menyadari kemiripan bayi itu dengan seseorang. Tidak juga setelah bayi itu ditaruh dalam keranjang dan dihanyut arus.

Kepala desa menarik napas lega. Ia sudah aman. Ia dan rahasia kecilnya.

Guangzhou, 9 September 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun