Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rhenald Khasali dan Kantin Kejujuran

5 Juni 2017   15:04 Diperbarui: 5 Juni 2017   21:50 1773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramoedya Ananta Toer. Editan Picsarti.

"Saya pernah menyontek PR di sekolah. Kepepet. Sebelum bel berbunyi, saya sontek dari teman paling rajin di kelas sebelum dikumpulkan. Tapi, kalau saya nyontek, saya tidak akan menunjuk tangan saat guru meminta mengerjakannya di depan kelas. Kalau saya sampai menunjuk, itu artinya saya sudah malas mengerjakan PR, menyontek, tak tahu malu pula!" Begitu komentar seorang teman baru-baru ini.

Saya jadi teringat masa sekolah saya. Saya terkenal tidak mau nyontekin, juga tidak mau nyontek jika ujian dilaksanakan. Karena itu, teman-teman membenci saya. Saat kelas 3 SMA, saya punya pacar. Pada saat ujian nasional berlangsung, dia ngasih kode kepada saya. Kami sekelas dan seruangan saat ujian. Dia hendak bertanya jawaban, namun tak saya hiraukan. Pulang dari ujian, ia tak ada di depan sekolah. Biasanya kami pulang bersama. Saya cek ponsel, hari itu dia minta putus. Alamakjang!

Dua pernyataan bikin saya terkaget-kaget. Pertama, dari Rhenald Khasali yang menyatakan bahwa plagiarisme hanya berlaku di dunia akademis. Kedua, pernyataan bahwa kita semua adalah plagiat adalah pernyataan yang sembrono. Justifikasi semacam itu sangat membahayakan, terutama pada cara pikir generasi muda. 

Beberapa waktu lalu, ramai soal tulisan Maman S. Mahayana yang membandingkan sastra cetak dan sastra online. Pasalnya, pandangan seperti itu sudah dianggap klise dan ketinggalan zaman, sebab sejak tahun 2000-an, generasi siber sastra bermunculan. Banyak penulis muda beken yang meraih berbagai penghargaan di tingkat nasional bermula dari milis sastra dan web komunitas sastra. Sebut saja nama Bernard Batubara, Sungging Raga, Windry Ramadhina, Bamby Cahyadi, dan tokoh indie book Indonesia, Irwan Bajang, juga bermula dari komunitas bernama kemudian.com. Dedy Tri Riyadi, penyair yang jadi langganan Kompas pun kerap menulis puisi di status Facebook-nya, di blognya, sebelum ia kirim ke koran-koran.

Kualitas tidaklah ditentukan di ruang mana sebuah karya ditulis. Majalah, koran, blog, media sosial hanyalah ruang-ruang itu. Sang kreator karya akan terus berproses, dan seleksi alam akan menunjukkan kualitas yang diharapkan, tidak peduli berangkat dari mana dia.

Soal Rhenald Khasali, saya tak ingin membahas definisi panjang lebar. Secara garis besarnya, plagiarisme di dunia akademik memang sama dengan kiamat. Begitu juga dengan dalam bisnis/komersial. Ingat, sebuah perusahaan ponsel yang harus membayar kepada Apple dengan timbunan koin karena kesamaan sisi ponselnya semata. 

Facebook sebagai ruang publik pun dibuat dengan perhitungan yang matang. Fitur-fiturnya dibuat dengan alasan. Saya mengibaratkan Facebook ini kantin kejujuran. Kita boleh mengambil apa saja, karena ada tombol share/bagikan yang telah disediakan.

Sebagai sebuah ruang, media tidak akan menghapus definisi karya. Jika yang ditulis hanya "Saya mau jalan-jalan" atau "Mau bobok nih...", maka tentu siapa pula yang mau copas? Kalau sama, ya karena ada kesamaan situasi. Begitu pun kalau isinya pernyataan, kutipan, yang bersifat common sense, yang sudah banyak orang ketahui. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Pernyataan-pernyataan semacam itu. 

Namun, beda bila sebuah tulisan sudah masuk ke dalam definisi sebuah karya. Tentu, tiap jenis karya punya definisinya masing-masing. Pada intinya, layak disebut karya ketika ia merupakan sebuah proses berpikir yang ditulis secara rapi dan sistematis, ada bangunan epistemologi, dan DNA sang penulisnya. Karya sastra seperti puisi dan prosa, karya jurnalistik berupa opini, sering pula ditulis di status Facebook. Maka, kode etik penulisan, meski belum ada hukum positif yang tegas menyangkut hal ini selama sang penulis asli tidak menuntut, mengharamkan praktik copy-paste.

Apakah sebuah puisi hanya akan menjadi status Facebook bila ditulis di status Facebook? Begitu juga opini, dan esai? Tentu tidak, bukan?

Kalau penasaran, kenapa kualitas pendidikan kita hanya begini-begitu saja, lihatlah kualitas orang-orang, para tokoh pendidikan pada pernyataan di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun