Hal paling menyedihkan dari Sumbawa adalah tidak adanya bioskop. Dan hal yang paling menyedihkan dari bioskop adalah mereka lebih memilih menampilkan film-film porno berkedok horor ketimbang film-film berkualitas seperti Introduction to Architecture.
Maka, malam-malam sendiri yang biasa saya isi dengan petikan gitar yang sembarang itu kini berubah menjadi kesetiaan di depan layar komputer, menunggu unduhan judul demi judul selesai, lalu menontonnya sampai pukul dua pagi ketika suara-suara misterius dari dapur, ketukan-ketukan kecil di dinding mulai terdengar, dan suara tapak berat yang tidak mungkin tikus di atas atap mulai bermunculan. Saya tidak takut hantu. Saya takut kalau tidak punya uang.
Namun malam ini ada kamu di depan saya. Dan malam ini juga tidak akan ada cerita lain tentang Tuan Alien dan Teruna. Masa bodoh dengan mereka berdua.
“Ceritakanlah tentang sesuatu...” Sedari tadi kita diam. Kamu beberapa kali menoleh ke jalan. Saya tidak tahu hal yang kamu khawatirkan. Mungkin motormu di parkiran tidak punya kunci pengaman. Tapi Sumbawa relatif aman selain tragedi 22 Januari silam dan beberapa kasus pembunuhan. Mungkin juga kamu risih bersama saya saat ini dan ingin segera pulang.
“Tidak, Mas, Sari bukan memikirkan pulang...”
“Lalu?”
“Sari suka melihat lalu lalang kendaraan, apalagi kalau ada dua orang berpelukan di motor...”
“Kamu ingin dipeluk?”
Tidak ada jawaban. Kamu memisahkan sambal dari bumbu satenya. Lalu menggigit daging kambing yang tampak alot itu dengan semangat. Itu pasti kambing tua yang kesepian.
“Kamu tidak takut kolesterol?”
“Mas sendiri kenapa kulitnya tidak dimakan?”