Kau hamil. Tujuh bulan. Aku yakin kau sedang mengandung bidadari.
Aku sudah pelajari baik-baik Hukum Mendel. Dari ketiga saudara perempuanmu, hanya kau yang memiliki alel dominan. Dan aku berani bertaruh anak pertamamulah yang akan mewarisi kedominanmu itu. Tidak hanya secara genotipe, tetapi juga fenotip. Ia akan memiliki wajah secantik kau. Ia juga akan memiliki sayap. Itulah alasan yang kutanyakan dulu ketika kita kali pertama bertemu, “Aku tahu mengapa kau memakai pakaian setertutup itu… pasti kau sedang menyembunyikan sayapmu, bukan?”
Aku cinta padamu bukan karena kau bidadari. Aku punya alasan lain seluas satu semesta, namun bila pun aku kehilangan seluruh alasan itu, aku tetap mencintaimu. Di dekat atau di jauhmu, perasaan ini tidak akan bisa hilang. Aku tahu ini akan tampak bodoh karena tidak bisa dijamin perasaan anak laki-laki yang belum 17 tahun akan berlangsung selamanya. Tetapi kau tersenyum suatu hari, ketika kita lagi-lagi bertatapan. Kau memberikan secarik kertas. Kata-katamu belum pernah kudengar dari bibirmu, “Akhi, jika cinta ini sejati, suatu saat pasti kita akan bertemu lagi….” Ah, kau bahkan lupa namaku. Namaku Pringadi. Bukan Akhi.
Namun anak yang kau kandung itu bukan anakku. Ini kenyataan. Padahal kita telah bertemu 5 tahun setelah kelulusan. Lagi-lagi kau tersenyum, tetapi kali ini kata-kata keluar dari bibirmu, “Apa kabar, Pringadi?” Kali ini aku yang menunduk. Dulu kau yang selalu menunduk ketika aku mencoba mencuri pandang diam-diam. Dalam tiga tahun itu, berat badanku bertambah 9 kilogram. Temanku bertanya apa yang sudah kulakukan sehingga aku bisa segemuk itu. Ini karena aku terlalu banyak memandang bidadari.
“Seperti yang kau lihat, Vilda. Aku baik… dan gemuk.” Aku gugup. Pesananku, dua milk shakecokelat belum datang. Aku bingung meneruskan pembicaraaan.
“Kau tidak bertanya kabarku?” tanyamu lagi.
“Aku selalu mendoakanmu baik-baik saja.” Kau diam, memandang keluar A&W. Perempuan-perempuan cantik berseliweran. Tapi pakaian mereka terbuka. Ketat. Bentuk tubuhnya dapat begitu mudah dibayangkan. “Mereka pasti tidak memiliki sayap…” kataku lirih.
Aku ingin mengingat masa lalu, masa-masa sekolah, masa-masa ketika aku menguntitmu, ketika aku selalu memperhatikanmu dan mencoba menjagamu karena khawatir bila tiba-tiba sayapmu mekar. Kau lahir 13 Mei 1987, bila usiamu sudah mencapai 17 tahun, artinya kira-kira sebelum kenaikan kelas 3, sayapmu akan mulai dewasa. Artinya, kapan saja kau dapat terbang. Aku tidak bisa membayangkan ada orang lain yang tahu mengenai rahasia ini kemudian kau akan diburu, ditangkap, dimasukkan ke dalam kerangkeng dan dipamerkan ke semua penduduk bumi. Aku tidak bisa melupakan Mei 2004 itu, termasuk ketika orang tuamu tiba-tiba menggantikan Pak Oman mengajar di kelasku. Kelas kita bersebelahan. Pak Oman tak masuk satu bulan. Orang tuamu juga guru matematika. Kakakmu kerja di bagian tata usaha. Adikmu juga bersekolah di sini. Mereka semua berkumpul hanya untuk menjagamu. Pasti.
Untungnya aku jago matematika. Setiap persoalan yang diajukan oleh ayahmu dapat kuselesaikan dengan baik. “Bagus, Nak!” ujarnya, ketika aku dapat dengan cepat menyelesaikan masalah trigonometri. “Kira-kira apa, Pak, yang menginspirasi Pitagoras ketika menemukan a2+b2=c2?” Ini bukan pertanyaan sulit, tetapi juga tidak mudah. “Rumus itu hanya berlaku untuk segitiga siku-siku, kenapa segitiga lain tidak?” aku tambahkan pertanyaanku.
Awalnya aku sanksi kalau pertanyaan itu dapat dijawab oleh kebanyakan guru matematika, tetapi kasus ini beda: dia ayahnya bidadari. Pasti ada semacam laduni atau ilmu dari langit yang dapat memberinya pencerahan. Dia tampak berpikir sebentar. “Sudut, Nak.” Ia menjawab singkat.
“Sudut?”