Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir

26 Agustus 2016   16:57 Diperbarui: 28 Agustus 2016   00:03 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Aku kehilangan kebiasaan membaca koran cetak selama aku berada di Sumbawa. Pasalnya, koran nasional yang terbitnya hari ini baru akan dikirimkan keesokan harinya. Kurs dolar menguat yang kubaca hari ini adalah berita kemarin. Kiamat yang diberitakan baru terjadi ternyata sudah berlalu pula. Berita seperti nasi, bisa menjadi basi.

Sementara koran-koran lokal tidak pernah memuat berita yang penting. Dua per tiga isinya iklan. Dan di antara iklan-iklan itu, selalu ada beberapa iklan tentang cara membesarkan alat kelamin. Terapisnya selalu dari Banten. Aku tidak tahu apa ada hubungannya antara orang Banten dengan Clement Atlee. Tokoh sosialis internasional itu hobinya menasionalisasi yang “besar-besar”.

Mengingat Atlee, aku pun terpaksa mengingat negaraku sendiri. Di tengah perkembangan New Public Service, perubahan paradigma organisasi publik dari steering menjadi serving yang berimplikasi juga pada pandangan atas privatisasi, negaraku malah mengambil ancang-ancang untuk memprivatisasi BUMN dengan dalih produktivitas.

Susah payah kuniatkan sejak semalam, sebelum aku memejamkan mata untuk tidur paling indah dalam hidupku, hari ini adalah hari yang sempurna untuk tidak berpikir. Aku tidak ingin berpikir untuk beberapa waktu setelah seorang teman memberi sebuah tautan informasi. Isinya menjelaskan bahwa orang-orang yang kurang waras jarang sakit. Orang-orang yang kurang waras tidak memiliki banyak pikiran. Dan kebanyakan sakit berasal dari pikiran.

Dalam seminggu terakhir, aku berhasil menyelesaikan Tetralogi Pulau Buru dan terpesona dengan tokoh Prinses van Kasiruta. Aku ingin memiliki perempuan seperti dia yang menganggap lelakinya adalah binatangnya, mataharinya sekaligus rembulannya. Segala hal yang dapat menyakiti suaminya akan dienyahkannya sendiri.

Aku tidak tahu sampai sejauh mana batas kekuatan cinta. Cinta selalu dapat memberi kita kekuatan untuk melindungi yang kita cintai. Aku berkeyakinan demikian—aku dapat melindungi kekasihku dari siapa saja dan apa saja kecuali diriku sendiri. Hal terakhir membuatku bergidik membayangkan Prinses Van Kasiruta akan menggorok leherku bila menyakitinya. Terlebih bila karena pengkhianatan. Pengkhianatan usianya selalu lebih panjang dari cinta.

Aku sebenarnya memutuskan untuk tidak masuk kantor hari ini dan berencana melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak membutuhkan pikiran. Mulanya, sebagian besar rencana itu adalah tidur: satu jam tidur di sofa, satu jam tidur di kamar mandi, tiga jam tidur di tempat tidur, lima belas menit tidur duduk, dan selebihnya aku hendak mencoba tidur sambil berjalan. Hanya beberapa waktu kusisakan untuk makan dan buang air. Tapi entah angin dari mana, temanku itu lagi-lagi mengirimkan pesan. Isinya seperti meledekku, “Hei, kau tahu tidak, pada saat kita tidur, otak kita tidak berhenti bekerja?”

Aku tidak berusaha mencari-cari jawaban atas kata-katanya.

Pukul enam pagi aku terbangun hari ini dan segera aku membuka jendela, cahaya matahari dengan kejam menghabisi kegelapan yang masih tersisa di dalam kamar. Aku buka ponselku, syukurlah, tidak ada pesan dari siapa pun. Dan aku membatalkan niatku untuk tidak masuk kantor. Aku memperbaruinya, aku cukup mengabsen dan setelah itu aku akan kabur dari kantor.

Segera aku menuju kantor yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Di negara ini, jarak tidak diukur dengan kilometer, tetapi dengan jam. Aku langsung bersiaga di depan mesin absen. Kuletakkan kelima jariku di sana untuk dipindai. Di belakangku sudah antri dua orang. Salah satunya kepala kantorku. Kami sama-sama belum mandi, tapi aku tak tahu apakah dia juga belum sikat gigi seperti aku. Yang pasti kami sama-sama masih memakai pakaian tidur yang sempurna dengan rambut seperti prajurit kalah perang. Yang tidak pasti, apakah kepala kantorku juga punya niat yang sama denganku, kabur dari kantor bakda absensi.

Dunia selalu diliputi oleh dua hal, perubahan dan ketidakpastian. Aku juga berubah. Rasanya baru kemarin kupelajari mengenai evolusi di bangku sekolah sekarang aku sudah punya uban dan keriput di wajah. Kuingat jerapah Lamarck memiliki leher yang pendek. Oleh karena kebiasaan menjulurkan leher mereka ke dahan-dahan yang tinggi, lama-kelamaan leher mereka pun memanjang. Kemudian pemanjangan leher ini diwariskan kepada keturunannya. Sementara Darwin mengatakan dulunya ada dua jenis jerapah, jerapah berleher pendek dan jerapah berleher panjang. Mereka bersaing memakan daun-daun, dan lama-lama yang tersisa hanyalah daun-daun di dahan yang tinggi. Karena kalah bersaing, jerapah berleher pendek mengalami kepunahan. Membayangkan manusia adalah jerapah-jerapah itu, aku ogah mengaminkan teori Darwin. Tak sanggup rasanya menerima dulu ada manusia-manusia jenis lain yang punah akibat kalah dengan jenis manusia yang ada saat ini. Sama saja dia bilang manusia yang ada saat ini adalah para pembunuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun