Tidak berkibarnya bendera Merah Putih saat kemenangan Indonesia dalam Piala Thomas kemarin menuai banyak reaksi. Terlebih dalam dunia serba cepat ini, fakta apa pun mudah diungkap sehingga otoritas/yang berwenang tidak lagi mudah ngeles atau asal memberikan argumen.Â
Terang dan jelas sebuah kesalahan memalukan telah terjadi. Permintaan maaf saja rasanya tak cukup untuk menghapus luka akibat kurang sempurnanya perayaan kemenangan Piala Thomas yang baru terjadi lagi setelah sekitar 19 tahun itu.
Namun, ada-ada saja ulah para pendengung. Tiba-tiba di jagat Twitterland, ada narasi yang dibangun untuk menampik kejadian memalukan itu dengan membandingkannya dengan ucapan Wakanda.Â
Para pendengung itu memojokkan orang-orang yang menggunakan Wakanda sebagai pengganti Indonesia, dan menyebut mereka munafik, sok nasionalis, karena meributkan pengibaran bendera tapi di sisi lain mengolok-olok nama bangsa.
Narasi yang demikian tidak hanya dibangun oleh satu orang. Tapi sekelompok orang. Yang bila diperhatikan rekam jejaknya adalah geng pendengung satu kelompok tertentu. Nama-nama yang cukup eksis dan kerap bermasalah dengan jumlah followers yang banyak menjadi juru bicara dengungan itu.
Tentu saja, narasi ini jelas disengaja. Dalam pelajaran logical fallacy, kita mengenal adanya stratagem, alias logical fallacy atau sesat pikir yang disengaja. Tujuannya adalah untuk mengecoh atau mempengaruhi cara berpikir orang lain.Â
Orang akan ikut arus meributkan Wakanda dan lepas fokusnya pada kesalahan-kesalahan birokrasi yang menyebabkan tidak berkibarnya bendera kita.
Berikut stratagem yang sering kita temui:
- Persuasi Tak Langsung. Hal ini biasa dilakukan di dalam iklan-iklan seperti iklan shampoo atau sabun mandi. Model iklannya memiliki rambut yang panjang nan berkilau, kulit yang putih dan bersih. Model iklan tersebut sudah terkenal sebelumnya. Penonton iklan pun dikecoh dengan iklan yang kurang menunjukkan deskripsi produk, melainkan oleh model iklan yang sudah terkenal tadi. Hal ini juga dilakukan di dalam Pilkada. Biasanya ada pasangan yang wakilnya merupakan artis terkenal. Bukan menarik calon pemilih dengan visi dan misi yang jelas, malah menarik mereka lewat popularitas artis.
- Argumentum Ad Hominem. Membidik orangnya. Misal, ada seseorang mengatakan sesuatu. Bukan mendebat sesuatu yang dikatakannya, kita malah mencari keburukan orang yang mengatakan itu seakan-akan orang brengsek nggak mungkin mengatakan kebenaran.
- Red Herring (Mengesampingkan masalah). Dalam hal ini, sebuah masalah dialihkan ke masalah lain yang sebenarnya tidak bertautan. Misalnya, Bubarkan saja KPK karena toh makin banyak yang ditangkap melakukan korupsi. Dua hal ini kurang relevan karena ada dua aspek yang ditinjau, pencegahan dan penindakan.
- Misrepresentasi. Stratagem ini digunakan biasanya untuk menyanggah atau menjatuhkan posisi lawan dengan cara memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik secara halus maupun terang-terangan. Contoh: Partai A mengajukan argumen untuk menentang kebijakan pemerintah dalam pencabutan subsidi BBM. Lawan politiknya menyanggah dan menuduh bahwa partai A tidak peduli pembangunan.
- Imbauan Cacah. Stratagem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengan menunjukkan bahwabanyak orang melakukan apa yang dikandung posisi tersebut. Imbauan cacah (appeal to number) didasarkan pada asumsi bahwa mayoritas orang melakukan suatu hal atau popularitas suatu hal menunjukkan bahwa hal tersebut adalah benar atau tidak dapat salah. Contoh: Ingat musim demo-demo kemarin 'kan? Pada pengen ngeklaim jumlahnya banyak... 7 juta lah, juga balon-balon di depan kantor Gubernur, pengen adu banyak 'kan? Padahal benar tetap benar walau oleh satu orang, demikian juga sebaliknya, salah tetap salah meski dilakukan semua umat manusia.
Masih banyak sebenarnya bentuk stratagem yang lain.
Nah, ulah para pendengung ini sebenarnya patut untuk ditertawakan. Penyebutan Wakanda dan negara-negara fiksi lainnya ditujukan sebagai satir. Pertama, bisa jadi karena ada rasa takut menyebut nama negara asli akan berakibat hukum pada pencuit. Dan di sisi lain, seolah-olah apa yang terjadi sangat tidak masuk akal/fiksional.