Para peneliti telah melihat masalah berkurangnya unsur hara dalam Toba. Penelitian pada tahun 1999 menunjukkan Toba telah masuk dalam kondisi oligotrofik, yang berarti daya dukung danau untuk pertumbuhan plankton telah terbatas. Kematian ikan pernah terjadi besar-besaran. Kondisi ini ditengarai disebabkan salah satunya adalah kebiasaan membuang limbah ke Danau Toba.
Untungnya, elemen yang ada sadar dan mencetuskan Lake Toba Ecosystem Management Plan (LTEMP) pada tahun 2004. Dan pembangunan pariwisata Toba yang memang beridentitas pada keanekaragaman hayati harus terus komitmen pada kelestarian lingkungan.
Apabila integritas elemen-elemen yang ada mulai dari Pemerintah hingga rakyat pada komitmen tersebut telah terwujud, barulah Toba akan mampu berbicara pada karakteristik-karakteristik lain yang dimiliki Toba sebagai destinasi wisata andal.
Seperti halnya penganggaran, pada prinsipnya bottom-up. Pengembangan pariwisata harus dimulai dari unsur terbawah, yaitu desa. Apalagi sejak ada undang-undang desa, desa dituntut kemandirian yang lebih untuk mengembangkan dirinya. Ada banyak cerita sukses desa yang sebagian membangun dirinya sebagai objek pariwisata. Bukan soal melimpahnya pendapatan desa yang dapat diperoleh, tetapi ini lebih kepada desa seharusnya mampu memahami dan menjaga dirinya sendiri mengingat strukturnya sebagai yang terkecil. Pengembangan pariwisata membutuhkan partisipasi masyarakat lokal dalam keseluruhan tahap pengembangan mulai tahap perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Rentang kendali desa dalam proses-proses tersebut lebih dapat dimaksimalkan sehingga tidak memunculkan eksternalitas negatif terhadap lingkungan.
Saat ini, beberapa desa di Toba sudah menjawab tantangan itu. Desa Wisata Huta Ginjang di Tapanuli Utara misalnya, memiliki potensi wisata seperti panorama keindahan danau dari ketinggian 1.637 mdpl dengan kontur bukit menghijau, olahraga paralayang, gantole dan motorlayang, wisata religi sekaligus kawasan outbond, produsen kopi di Sumatera Utara, serta budaya sejarah Raja Parbaringin dan situs-situs budaya Desa Huta Ginjang. Ada juga Desa Wisata Sigapiton yang bahkan sudah memiliki website sendiri untuk mempromosikan dirinya. Dan masih banyak desa lain yang memiliki nilai tambahnya masing-masing, bukan hanya tentang pemandangan alam, atraksi, tetapi juga budaya seperti kuliner, pertunjukan tari, dan pembuatan ulos.
Model pariwisata berbasis kearifan lokal itu setidaknya harus memuat kombinasi antar:
(1) perjalanan ke suatu kawasan (seperti hutan alam, goa, kehidupan bawah laut, kehidupan masyarakat hukum adat, kehidupan perkotaan, dan sebagainya),
(2) aktivitas pembelajaran (learning) dalam rangka meningkatkan pengalaman wisatawan,
(3) menggalakkan upaya konservasi flora, fauna, dan budaya, serta
(4) mengembangkan kepedulian dan kapasitas masyarakat lokal
Sebenarnya, panduan untuk  semua itu sudah tertera jelas di dalam Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Strategi di dalamnya bertumpu kepada beberapa poin utama yang beberapa di antaranya adalah warisan budaya, pertumbuhan ekonomi dan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan mengutamakan partisipasi masyarakat dalam menjalankan strategi.
Nah, mengingat betapa luas dan beragamnya wisata di Toba, perlu strategi pemasaran yang mumpuni agar para wisatawan dapat menikmati Toba secara maksimal.