Aku kerap bercerita pada anakku tentang masa kecilku. Berbagai permainan tradisional masih dimainkan. Tidak seperti sekarang, seringnya anak-anak menghabiskan waktu dengan gawainya. Bermain game, yang bergerak hanya jari jemarinya.
Ramadan tentu saja menyembulkan kenangan-kenangan permainan. Bohong kalau anak laki-laki nggak ada nakal-nakalnya. Diam-diam, aku dan teman-temanku sering bermain jauh dari rumah. Ke daerah kedukan tanah. Bekas kedukan itu terisi air yang berwarna hijau atau biru muda. Menggoda. Sayang jika tak diberenangi. Biasanya, setelah Asmara Subuh, kami akan menghabiskan waktu hingga menjelang siang. Berenang. Kami percaya kalau berendam di air tidak akan bikin haus. Jika tak sengaja tertelan, ya alhamdulillah.
Setelah jadi orang tua, aku baru sadar betapa berbahayanya tempat kedukan itu. Tanpa ada orang dewasa yang mengawasi, tanpa tahu pasti berapa kedalaman di tiap sisi, ditambah dengan lumpur di dasar, ah, nekat sekali.
Atau jika tidak berenang, gawai pada masa itu, Ding Dong namanya, menjadi elemen menggoda. Apalagi pernah pada suatu masa, Ramadan diliburkan sebulan penuh. Sering juga aku menghabiskan waktu di Ding Dong. Entah itu hanya menonton orang-orang bermain, atau menghabiskan 1-2 koin untuk menamatkan gim-gim yang ada di sana.
Ah, tapi kita tidak akan terlalu jauh membahas permainan yang berelasi dengan kebandelan itu. Beberapa permainan tradisional sebenarnya masih mengakar dan dimainkan saat Ramadan. Nah, yuk kita tilik satu per satu.
Meriam Bambu
Meriam bambu hanya muncul saat Ramadan di kampungku. Menjadi unik, karena sedikit yang mampu membuatnya.Â
Meriam bambu  terbuat dari batang bambu yang diisi minyak tanah dan potongan kain sumbu untuk bisa mengeluarkan suara keras layaknya sebuah meriam zaman penjajahan. Pangkal bambu dilubangi lalu dimasukkan sumbu dari kain serta minyak tanah, kemudian dipancing beberapa kali dengan menggunakan ranting kayu yang sudah dibakar untuk mengeluarkan suara dentuman yang keras. Serulah.
Main Karet Gelang