Beberapa waktu lalu, aku membagikan aktivitas anakku. Dia kuikutkan les speaking untuk anak-anak dari Kampung Inggris secara daring. Setelah itu, dia juga ingin kuikutkan dalam pelatihan Public Speaking. Membaca itu, Eyang dari Palembang menghubungiku. Dia katakan, bagaimana mengajinya? Apakah sudah lancar membaca Alquran?
Pertanyaan itu menohokku. Kenangan masa kecil berkelindan di kepala.
Entah mengapa, kini mengaji menjadi persoalan kesekian. Berbagai pelatihan kuikuti. Kebanyakan tentang dunia blog. Belakangan aku juga belajar meningkatkan kemampuan desain grafis dan SEO di Youtube. Berbagai algoritma media sosial kupelajari demi menjadi social media strategist yang baik. Kursus persiapan IELTS pun kulakukan. Namun, sudah lama aku tidak mengaji.
Waktu kecil, aku mengaji hingga wisuda di TPA di masjid dekat rumah. Artinya, mengajiku tidak buruk-buruk amat. Semua nilai yang diujikan mendapat A, kecuali 1: tilawah itu sendiri mendapat B. Napasku yang pendek dan beberapa makhrajku tidak benar membuatku tidak sempurna.Â
Aku masih ingat masa-masa sekolahku itu. Setiap hari selama bulan Ramadan aku akan mengaji. Ketika SMA bahkan, aku sudah belajar membaca dan memahami arti ayat-ayat yang kubaca. Jauh memang dari para penghafal Alquran, tapi dibandingkan aku yang sekarang, aku melihat diriku sebagai seseorang yang cukup alim di masa lalu.
Waktu berlalu, manusia berubah. Ketika kuliah, aku mengenal dunia yang amat menyilaukan mata. Pelan-pelan aku meninggalkan Alquran. Jarang sekali kubaca. Bahkan dalam Ramadan, setiap aku mencoba kembali, aku selalu gagal mengkhatamkannya.
Di rumah, aku terlalu terfokus berkarya. Menulis blog atau karya sastra. Aku terlalu terpaku pada masa kecilku di mana ibukulah yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak. Termasuk mengaji. Seusai Maghrib ia akan mengajariku mengaji dari mula Hijaiyah. Setelah aku bisa dan lancar, ia hanya akan memintaku duduk di sampingnya, mengaji secara mandiri. Aku berharap istriku mengambil peran itu. Namun ternyata di keluarga istriku, ayahnyalah yang mengajari anak-anaknya mengaji. Sementara Ibu memasak setelah Maghrib. Sambil menunggu masakan matang, Sang Ayah akan mengajarkan mengaji.
Ramadan kali ini aku membuka Alquran kembali dan bertekad mengkhatamkannya. Di sisi lain, aku mulai disiplin mengajarkan sikap belajar termasuk belajar mengaji kepada anakku. Mungkin telat, tapi daripada tidak.Â
Secara pribadi, aku kembali menengok kembali hapalan surat-surat pendek. Ternyata, ada banyak hapalanku yang hilang atau tersalah. Keliru panjang pendeknya, dan beberapa luput satu-dua huruf.Â
Motivasinya sih agak keliru. Malu juga kalau tiap jadi imam, surat yang dibaca itu-itu lagi.
Belajar mengaji ini ternyata membuatku menyadari satu peran penting seorang lelaki: belajar menjadi ayah yang lebih baik. Tidak mudah lho mengajari anak. Apalagi ketika dia tidak bisa-bisa. Emosi harus dijaga.Â