Bahasa punya wajah yang politis. Hal itu bisa kita simak pada perdebatan kata mudik dan pulang kampung. Politik mampu membedakan sekaligus menyatukan makna yang dimiliki.
Padahal, ujar Gonawan Mohamad, bahasa akan menjadi terang apabila ada dalam tataran ide. Seperti kelahirannya sendiri, bahasa lahir untuk menggapai realitas. Meski tak sepenuhnya bisa dilakukan.
Frasa mudik online pun lahir sebagai buah kepentingan. Politis. Kalau secara zahir, adakah mudik online? Tentu saja tidak ada. Mudik menyaratkan pergerakan orang ke kampung halamannya. Meski dipersempit (juga oleh politik) dalam niatan dan waktu tertentu. Apakah mudik bisa dilakukan secara online? Tentu saja tidak.
Maka bisa ditilik lebih dalam, apa yang dilakukan orang ketika mudik dalam konteks lebaran? Silaturahmi ke keluarga. Saling bermaafan. Mencicipi kuliner khas lebaran. Kasih jatah THR ke keponakan-keponakan. Apalagi, ya?
Nah, bisakah itu dilakukan secara online? Jawabannya, bisa saja.
Untuk bisa bersilaturahmi secara online, apa yanh harus kita persiapkan, ya? Tentu saja ponsel pintar yang kualitas videonya bagus. Kuota yang memadai. Sinyal yang kuat. Dengan begitu, kita bisa bertatap muka dengan seluruh anggota keluarga yang ada di kampung halaman.
Aplikasinya pun harus dipersiapkan. Kabar baik, Whatsapp sekarang sudah bisa melakukan video call bersama 50 orang. Jadi, yang khawatir memakai Zoom karena keamanan data yang tidak terjamin bisa bernapas lega. Aplikasi-aplikasi video call berjamaah lain seperti Google Meet juga bisa dipergunakan. Tergantung selera masing-masing mau yang mana.
Jika pun tidak bisa video call, telepon tak masalah. Ini bukan pertama kalinya tidak mudik, bukan? Dulu juga bisa hanya telepon-teleponan.
Selanjutnya, bermaafan secara online tidaklah perlu alat tambahan. Hanya hati yang tulus meminta maaf yang diperlukan. Barangkali kesakralannya berbeda. Apalagi yang masih menjaga tradisi sungkeman. Tidak bisa sungkem online. Tidak bisa salaman online. Apa boleh buat.
Bagaimana dengan kuliner khas di kampung halaman? Dua hari lalu saya chat kakak saya. Minta dikirimi kerupuk dan pempek dari Palembang. Buat saya dua hal ini tidak tergantikan. Meski banyak kue khas lebaran Palembang lain yang tidak bisa dikirimkan, saya cukup bahagia bila lidah sudah mencicipi kerupuk dan pempek.
Dan terakhir, buat paman-paman yang balik ke kampung, pasti selalu ditunggu para keponakan. "Om, minta THR dong!"