Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sesat Pikir Propaganda Kartunesia

9 Januari 2020   18:40 Diperbarui: 9 Januari 2020   18:52 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: @IDkartunesia.

Apa yang kamu pikirkan sesaat setelah melihat gambar tersebut?

Aku mendapat dua kesan. Pertama, tendensius pada Islam. Kedua, pola pikir kapitalisme yang merendahkan kemiskinan.

Boleh-boleh saja sebenarnya memiliki prinsip tidak ingin memiliki keturunan. Itu adalah hak pribadi setiap orang. Berpandangan bahwa dunia sudah mulai kehilangan daya pendukungnya untuk menampung umat manusia yang semakin hari semakin bertambah banyak secara eksponensial sehingga perlu ada tindakan untuk tidak punya anak banyak atau bahkan tidak memiliki keturunan sekalipun adalah pilihan.

Namun, mungkin kita terbiasa berkampanye menunjukkan kebenaran dengan menghinakan kesalahan orang lain sehingga dalam hal ini pun perlu rasanya menghinakan orang-orang yang punya anak banyak. Seolah "Gue benar karena kamu salah!"

Nah, kalau kita teliti, adegan di dalam kartun tersebut sendiri menyimpan beberapa kesalahan fatal. Apa saja itu?

Pertama, mobil sebagai simbol kekayaan. Ini khas kapitalis Indonesia banget bukan? Masih sendiri, berkendara mobil. Kampanye ini justru sangat bertentangan dengan kampanye menggunakan kendaraan umum yang juga ada kaitannya dengan pengurangan kemacetan, emisi kendaraan gas bermotor yang berdampak pada lingkungan. Perilaku mengendarai mobil sendirian justru harus dihindari. Kalau tidak ada rekannya, ya naiklah kenaraan umum.

Di sisi lain bermotor belum tentu miskin. Meski kita tahu perilaku berkendara tarik empat tanpa helm itu keliru.

Kedua, tendensius terhadap wanita bercadar, lebih luasnya tendensius terhadap Islam dan pilihan hidup perempuan yang menjadi ibu rumah tangga, mengurus anak-anaknya mulai di rumah sampai antar ke sekolah misalnya.

Kabar baiknya di sini, anak-anaknya tidak digambarkan memakai kerudung yang lebar juga.

Ketiga, miskin dilarang punya anak. Padahal tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa pernikahan adalah perjuangan. Semua dibangun dari dasar, dari hidup yang minimalis itu. 

Orang tua saya sering menceritakan masa-masa hidupnya yang susah, menjadi honorer yang ditempatkan di hutan rimba untuk membantu penyuluh pertanian. Buat saya itu keren ketika kemudian ayah saya berhasil bikin dua sekolah. Setiap ada musibah tertipu dalam bisnis, beliau tidak begitu stres dengan bilang, toh dulu kita nggak punya apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun