Seno Gumira Ajidarma. Bagi para penulis yang menempuh jalan cerpenis secara serius tentu tak ada yang tak mengenalnya. Kisah Sukab dan Alina dalam Sepotong Senja untuk Pacarku menjadi "bacaan wajib", salah satu karya kanon dalam belantara cerpen Indonesia.
Sang Sukab, eh Seno, beberapa waktu lalu menyampaikan pidato kebudayaan dalam ulang tahun Taman Ismail Marzuki. Pidatonya itu diberi judul Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi.
Setidaknya ada 3 poin penting yang bisa jadi pembelajaran kebudayaan kita pada hari-hari belakangan ini. Apa saja itu?
1. Mencapai Kebenaran adalah Mungkin
Satu kalimat tersebut sebenarnya bisa menghasilkan banyak tafsir. Kebenaran itu sendiri adalah mungkin, di tengah gejolak orang-orang yang meyakini dirinya benar. Dua belah pihak bertarung bukan benar melawan salah. Tapi dua pihak yang sama-sama merasa benar.
...ternyatalah bahwa tiada kebenaran yang tunggal, karena ternyata setiap usaha menyampaikan denotasi merupakan konotasi pula. Sedangkan usaha menyuruk ke dalam argumen pembenaran, atas hakikat keberadaan tusuk gigi ini, justru menghasilkan keberagaman konotatif yang menggugurkan ideologi kebenaran tunggal itu sendiri.
2. Identitas adalah Persoalan yang Penting, Sekaligus Diabaikan
Seno memberi ilustrasi. Dari jalanan bisa didapatkan ilustrasi yang berlangsung setiap hari di depan mata: sementara perdebatan tentang berhijab atau takberhijab seperti takkan pernah mencapai hasil akhir, regulasi bahwa tanpa pandang bulu pengendara motor wajib mengenakan helm sudah final dan disepakati semua golongan---tetapi jika dikatakan bahwa peraturan lalu lintas lebih dituruti daripada peraturan agama tentunya bisa menyinggung perasaan.
Namun masih menarik untuk menampilkannya sebagai kondisi pascamodern: kerudung secara universal terasalkan dari masa pra-Islam untuk mengatasi atmosfir berserbuk debu, yang kemudian mendapat beban makna spiritual-religius; helm adalah produk modernitas, sebagai hasil perhitungan teknis-matematis, bahwa kepala di dalam helm itu terjamin utuh ketika helmnya terlindas panzer.Â
3. Cepat Boleh, Tapi Hati-hati
Dalam hal ini Seno menyindir revolusi industri 4.0 dan perubahan zaman yang menginginkan segalanya serba mudah dan cepat. Ia dengan cerdik mengingatkan kembali cerita perlombaan lari antara kancil dan siput. Kancil yang cepat dikalahkan oleh siput.
Seno mengatakan, "Agar kita semua tidak terlanjur meluncur dengan kecepatan cahaya, hanya untuk hancur lebur menjadi debu, baiklah mitos itu dilawan dengan sebuah kontramitos."
Bagaimana, menarik bukan?