Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masa Kecil, Puisi, dan Mati Lampu

9 Agustus 2019   10:11 Diperbarui: 9 Agustus 2019   10:40 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurang lebih dalam 2 hari, Jakarta dan sekitarnya dilanda mati lampu. Ribut. Pada hari pertama, aku sedang berada di Palembang. Jadi tidak kurasakan betul efeknya seperti apa. 

Keeseokan harinya barulah aku pulang ke Citayam. Sampai rumah pukul lima sore, lampu mati. Pukul tujuh lampu sempat hidup, tetapi hanya sekitar 15 menit. Kemudian mati lagi sampai pukul 10 malam.

Seharusnya aku terlatih dengan kondisi seperti ini. Pasalnya aku anak Sumatra yang ketika kecil rutin mengalami pemadaman listrik bergilir. Dalam satu hari kadang dua kali mati lampu. Normalnya, tiga kali seminggu. Sekali mati lampu biasanya tiga jam. Mulai ketika selesai makan malam.

Aku lima bersaudara. Saat mati lampu kami akan berkumpul bersama di ruang tengah. Menyalakan sebatang lilin. Lalu cerita demi cerita akan lahir. 

Kadang-kadang kami memainkan bayang-bayang dari tangan. Membentuk kambing, ular, dan elang. Kadang-kadang pula kakakku menantang untuk memainkan jari di atas lilin. Namun tidak terbakar.

Saat itu aku masih SD. Bungsu. Kakakku yang tertua sudah tahun terakhir di SMA. Kenangan-kenangan seperti itu yang membuat keeratan kami sebagai kakak beradik. Meski kini, aku satu-satunya anak yang merantau ke luar Sumatra.

Sebuah puisi pernah aku tulis untuk mengenang itu semua. Judulnya Aku Menyalakan Lilin Untukmu. Puisi ini akan termuat dalam buku puisi terbaruku yang akan terbit 12 Agustus nanti. Judulnya Sejumlah Pertanyaan tentang Cinta (Elexmedia).

aku merindukan mati lampu supaya kita dapat berpelukan
di sekitar lilin yang baru dinyalakan
bersama kita memainkan bayangbayang
dan menyaksikan dinding bak layar bioskop dengan film baru tayang

aku menciptakan seekor elang
yang mengepakkan sayapnya pedih
setelah menghabiskan sekepal daging sidharta
cakarnya yang biasa gigih menjadi letih
kau menyebut cakar itu hatiku
lalu tanganmu menyalak, menjadi anjing penjaga

aku telah lama meninggalkan rumah
kau telah lama menungguku pulang

aku merindukan mati lampu terutama
bila hujan turun di antara dua orang kasmaran
aku akan melihat nyala lilin itu tergoda
melepaskan diri dari sumbu ketimbang selalu disalahkan
di antara kita, siapa saja boleh mengaku salah
juga boleh mengaku saling kasmaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun