Hal ini dilakukan untuk menahan air hujan yang selama ini 80 persen langsung mengalir ke laut. Kelima belas jenis tanaman tersebut adalah aren, gayam, kedawung, trembesi, beringin, elo, preh, bulu, benda, kepuh, randu, jambu air, jambu alas, bambu dan picung.
Menurut Sudarmadji (2010), konservasi mata air digolongkan menjadi konservasi fisik dan nonfisik.
Konservasi fisik misalnya diwujudkan dengan pembangunan infrastruktur pelindung berupa pagar tembok pengaman dan penanaman pohon di sekitar mata air.
Konservasi nonfisik dilakukan berdasarkan kearifan lokal setempat. Kearifan lokal berupa nilai-nilai, estetika dan moral, norma-norma yang dipakai sebagai pedoman sikap dan perilaku masyarakat dalam melestarikan mata air.
Secara garis besar, upaya penyelamatan mata air dalam jangka pendek bisa dilakukan dengan:
- Mengatur penggunaan sumber air secara optimal agar tidak terjadi tumpang tindih berbagai kepentingan.
- Pembuatan kolam penangkap air.
- Penghijauan dengan tanaman keras pada radius 100 meter dari mata air.
- Pembuatan sarana mandi dan cuci di hilir mata air pada jarak yang aman, minimal 50 meter sebelah hilir mata air.
- Setiap pipa pengambilan air dari mata air diharuskan dari tampungan, bukan langsung dari kolam penangkap air.
Dalam jangka panjang, hal yang bisa dilakukan adalah:
- Konservasi mata air dapat dilakukan secara mekanik, kimia atau biokimia terhadap tanah dan air secara terpadu.
- Penanganan limbah secara benar harus dilakukan untuk mengurangi dampaknya terhadap pencemaran sumber air.
- Pembinaan secara berkala dan berkesinambungan dilakukan oleh pemerintah maupun swasta terhadap masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian sumber air.
- Pemerintah harus mampu menegakkan peraturan dan konsisten, setiap pelanggaran harus diberikan sanksi yang tegas.
Dalam hal konservasi nonfisik, norma yang berupa anjuran ataupun larangan itu jamak terjadi Setiap daerah punya keunikan sendiri dalam menjaga kemurnian mata airnya.
Buwono, et al (2017) mengungkapkan upaya konservasi terjadi karena adanya kebiasaan masyarakat yang positif seperti adanya tasyakuran tahunan dengan bersih mata air atau kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar[9]. Masyarakat Baduy pun punya cara dengan konsep konsep hutan larangan.
Ada ritual dan waktu khusus untuk masuk ke sana. Masyarakat Samin di Blora punya pandangan air tak boleh diperjualbelikan. Di Boniton, Kepulauan Banggai dan di sebuah desa di Biak, juga masih ada pengenaan denda yang mahal bila bahkan hanya mengambil ikan sidat dari mata air---ikan yang dipercaya dapat menyebabkan aliran mata air menjadi lancar.
Menjadi Manusia Penuh Kebajikan
Peradaban dimulai tak terpisahkan dengan air. Karakter manusia juga lekat dengan keberadaan air. Mereka yang beradab, tenang, dan penuh sopan santun biasanya hidup di dekat air (Mulyana, 2018)[10].