Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Dari Percakapan Hingga Pembebasan Interior

1 Oktober 2018   09:27 Diperbarui: 1 Oktober 2018   09:32 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Percakapan Interior. Dokumentasi pribadi.

Menarik, bila kita menyimak ujaran Kurnia Effendi (Kef) di Teras sebagai pengantar atas puisi-puisinya. Kef mengatakan bahwa monolog interior tak hanya sanggup merangkum semesta tiga dimensi, tetapi bersedia pula menukik runcing pada perasaan-perasaan yang nyaris tak terjangkau tatapan atau pendengaran biasa.

Pernyataan di atas tentu tak bisa kita lepaskan dari latar belakang beliau yang merupakan lulusan Desain Interior. Bila awam memahami interior sebagai "di dalam ruangan", desain interior ternyata memiliki definisi yang lebih dalam---ilmu yang mempelajari perancangan suatu karya seni yang ada di dalam suatu bangunan dan digunakan untuk memecahkan masalah manusia.

Masalah, sebagaimana umum diketahui dalam dunia penelitian, bukanlah gejala/symptom, bukan pula sebatas fenomena, melainkan menukik masuk dan mencari sebab dari yang terlihat. Dalam kasus Percakapan Interior, Kef mengakui itu sebagai upaya eksplorasi terhadap kedalaman dan keluasan berdasarkan pengalaman yang telah dilalui.

Perngalaman yang telah dilalui Kef berupa perjalanan demi perjalanan tak terlepas dari buah modernisasi. Modernisasi sebagai sebuah pembebasan menginginkan sikap pengakuan terhadap dunia dengan cirinya yang khas: individualis, progresif, dan sekuler. Manusia kemudian mencari makna dari aktivitas yang dilalui, dari segala ciri modernisasi yang pelan-pelan mengaburkan jiwa manusia itu. Namun, bersamaan dengan itu, manusia juga akan merasakan kerinduan akan keutuhan dirinya. Kekuatan kesadaran manusia akan memicu pembebasan interior yang melampaui akal-budi manusia.  

            Proses inilah yang tampak dalam puisi-puisi Kef. Di Lo Spazio misalnya:

            Di meja Angky Camaro terbentang harapan

            Secangkir espreso dan kentang goreng

            Membusungkan bagian lambung terdalam

Lo Spazio adalah nama restoran terkenal. Tentu, bisa makan di Lo Spazio adalah sebuah capaian tersendiri. Pun penyebutan Angky Camaro, sebagai salah satu marketer paling andal di dunia otomotif makin mengentalkan nuansa pengakuan terhadap dunia. Espreso, selain sebagai simbol persahabatan dan keakraban, juga menyiratkan kelas sosial tertentu. Selanjutnya, penegasan dunia dengan kata lambung menunjukkan bahwa persoalan utama manusia di dunia ini adalah mengatasi rasa laparnya.

            Namun, dalam baris penutup puisi, Kef berkata:

            Setelah makan pagi, kita

            Hampir tak punya nama

Di sini kerinduan Kef pada keutuhan diri sebagai manusia ditampilkan. Nama adalah persoalan identitas. Manusia akan tenggelam dalam hiruk-pikuk modernisasi dan menjadi tak berarti siapa dirinya. Pertanyaan "siapa diri" dalam konteks interior alam semesta adalah keberartian sebagai manusia. Kita adalah debu semesta raya. Namun, selaiknya, setitik debu pun memiliki makna.

Relasi modernisasi yang berlanjut ke pembebasan interior itu kita temukan dalam banyak puisi Kef. Dalam hal ini, kita pun dipaksa mengingat kembali ungkapan Seno Gumira Ajidarma dalam Menjadi Tua di Jakarta: "Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa." Diam-diam, Kef ingin menanamkan rasa takut itu ke benak pembaca.

Beliau yang sudah mengalami pensiun kini kembali ke ruang di dalam dirinya. Di sana ia mengenang, sekaligus memikirkan ulang segala hal yang pernah ia lalui dan ia miliki. Tapi ia tidak otoriter terhadap tafsir. Ia membebaskan pemaknaan kepada pembacanya. Ia bahkan tetap membuka pintunya terhadap kemungkinan-kemungkinan penciptaan. Puisi dari kata poiesis berarti penciptaan itu. Dari Joko Pinurbo, GM, Afrizal, hingga Emi Suy ia jadikan tamu di ruang miliknya. Dengan kerendahan hati, ia biarkan para tamu itu menghiasi ruang.

Luasnya tafsir yang bisa hadir di benak pembaca bahkan sudah bisa kita saksikan sejak puisi pertama.

Masih berdesir harum itu, menetap di serat katun sofa,

Tempat dudukmu---dan bokong yang kuremas itu---

Sebelum jatuh senja

Seperti yang sudah-sudah, kautinggalkan jejak lain:

Sidik bibir pada lengkung cangkir,

Sebelum ciuman terakhir

Terdapat baris "sebelum jatuh senja". Secara sederhana, senja bisa dimaknai sebagai usia yang sudah tua. Namun, senja itu indah. Senja yang turun setelah matahari terbenam itu juga sebentar datangnya. Di sini, saya merasa Kef ingin bilang, hidup yang indah ini cuma sebentar. Sebentar sekali. Namun, karena sebentar itulah segala sesuatunya terasa indah.

Dalam Pedestrian, Kef berkata:

Membujur ke utara seperti arah langkahmu

Angin tak singgah lagi tanpa suaramu

 

Membentang sunyi lantai marmer sisa kepundan

Alangkah janggal jika padamu

Kuingatkan alamat rumah

Menjulang sepi tiang-tiang korintian

Harapan itu tinggal sejumlah remah

Rumah yang sebenarnya berarti tempat kembali. Manusia kembali ke utara---menuju Tuhan. Di sini juga pembebasan interior itu berlangsung dengan aduhai. Salah, bila manusia menempatkan dunia dan seisinya sebagai tujuan terakhir. Pada akhirnya, segala hal itu akan menghasilkan kesepian bagi diri. Tak ada artinya lagi.

(2018)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun