Menarik, bila kita menyimak ujaran Kurnia Effendi (Kef) di Teras sebagai pengantar atas puisi-puisinya. Kef mengatakan bahwa monolog interior tak hanya sanggup merangkum semesta tiga dimensi, tetapi bersedia pula menukik runcing pada perasaan-perasaan yang nyaris tak terjangkau tatapan atau pendengaran biasa.
Pernyataan di atas tentu tak bisa kita lepaskan dari latar belakang beliau yang merupakan lulusan Desain Interior. Bila awam memahami interior sebagai "di dalam ruangan", desain interior ternyata memiliki definisi yang lebih dalam---ilmu yang mempelajari perancangan suatu karya seni yang ada di dalam suatu bangunan dan digunakan untuk memecahkan masalah manusia.
Masalah, sebagaimana umum diketahui dalam dunia penelitian, bukanlah gejala/symptom, bukan pula sebatas fenomena, melainkan menukik masuk dan mencari sebab dari yang terlihat. Dalam kasus Percakapan Interior, Kef mengakui itu sebagai upaya eksplorasi terhadap kedalaman dan keluasan berdasarkan pengalaman yang telah dilalui.
Perngalaman yang telah dilalui Kef berupa perjalanan demi perjalanan tak terlepas dari buah modernisasi. Modernisasi sebagai sebuah pembebasan menginginkan sikap pengakuan terhadap dunia dengan cirinya yang khas: individualis, progresif, dan sekuler. Manusia kemudian mencari makna dari aktivitas yang dilalui, dari segala ciri modernisasi yang pelan-pelan mengaburkan jiwa manusia itu. Namun, bersamaan dengan itu, manusia juga akan merasakan kerinduan akan keutuhan dirinya. Kekuatan kesadaran manusia akan memicu pembebasan interior yang melampaui akal-budi manusia. Â
      Proses inilah yang tampak dalam puisi-puisi Kef. Di Lo Spazio misalnya:
      Di meja Angky Camaro terbentang harapan
      Secangkir espreso dan kentang goreng
      Membusungkan bagian lambung terdalam
Lo Spazio adalah nama restoran terkenal. Tentu, bisa makan di Lo Spazio adalah sebuah capaian tersendiri. Pun penyebutan Angky Camaro, sebagai salah satu marketer paling andal di dunia otomotif makin mengentalkan nuansa pengakuan terhadap dunia. Espreso, selain sebagai simbol persahabatan dan keakraban, juga menyiratkan kelas sosial tertentu. Selanjutnya, penegasan dunia dengan kata lambung menunjukkan bahwa persoalan utama manusia di dunia ini adalah mengatasi rasa laparnya.
      Namun, dalam baris penutup puisi, Kef berkata:
      Setelah makan pagi, kita
      Hampir tak punya nama
Di sini kerinduan Kef pada keutuhan diri sebagai manusia ditampilkan. Nama adalah persoalan identitas. Manusia akan tenggelam dalam hiruk-pikuk modernisasi dan menjadi tak berarti siapa dirinya. Pertanyaan "siapa diri" dalam konteks interior alam semesta adalah keberartian sebagai manusia. Kita adalah debu semesta raya. Namun, selaiknya, setitik debu pun memiliki makna.
Relasi modernisasi yang berlanjut ke pembebasan interior itu kita temukan dalam banyak puisi Kef. Dalam hal ini, kita pun dipaksa mengingat kembali ungkapan Seno Gumira Ajidarma dalam Menjadi Tua di Jakarta: "Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa." Diam-diam, Kef ingin menanamkan rasa takut itu ke benak pembaca.
Beliau yang sudah mengalami pensiun kini kembali ke ruang di dalam dirinya. Di sana ia mengenang, sekaligus memikirkan ulang segala hal yang pernah ia lalui dan ia miliki. Tapi ia tidak otoriter terhadap tafsir. Ia membebaskan pemaknaan kepada pembacanya. Ia bahkan tetap membuka pintunya terhadap kemungkinan-kemungkinan penciptaan. Puisi dari kata poiesis berarti penciptaan itu. Dari Joko Pinurbo, GM, Afrizal, hingga Emi Suy ia jadikan tamu di ruang miliknya. Dengan kerendahan hati, ia biarkan para tamu itu menghiasi ruang.
Luasnya tafsir yang bisa hadir di benak pembaca bahkan sudah bisa kita saksikan sejak puisi pertama.
Masih berdesir harum itu, menetap di serat katun sofa,
Tempat dudukmu---dan bokong yang kuremas itu---
Sebelum jatuh senja
Seperti yang sudah-sudah, kautinggalkan jejak lain:
Sidik bibir pada lengkung cangkir,
Sebelum ciuman terakhir
Terdapat baris "sebelum jatuh senja". Secara sederhana, senja bisa dimaknai sebagai usia yang sudah tua. Namun, senja itu indah. Senja yang turun setelah matahari terbenam itu juga sebentar datangnya. Di sini, saya merasa Kef ingin bilang, hidup yang indah ini cuma sebentar. Sebentar sekali. Namun, karena sebentar itulah segala sesuatunya terasa indah.
Dalam Pedestrian, Kef berkata:
Membujur ke utara seperti arah langkahmu
Angin tak singgah lagi tanpa suaramu
Â
Membentang sunyi lantai marmer sisa kepundan
Alangkah janggal jika padamu
Kuingatkan alamat rumah
Menjulang sepi tiang-tiang korintian
Harapan itu tinggal sejumlah remah
Rumah yang sebenarnya berarti tempat kembali. Manusia kembali ke utara---menuju Tuhan. Di sini juga pembebasan interior itu berlangsung dengan aduhai. Salah, bila manusia menempatkan dunia dan seisinya sebagai tujuan terakhir. Pada akhirnya, segala hal itu akan menghasilkan kesepian bagi diri. Tak ada artinya lagi.
(2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H