Dua belas calon independen siap bertarung di pilkada serentak di seluruh Sumatra Selatan. Hanya 3 daerah yang tidak memiliki calon independen yakni Prabumulih, OKI, dan Provinsi Sumatra Selatan. Semarak tokoh independen di Kabupaten/Kota lain inilah yang membuat demokrasi di Sumsel menarik. Salah satu kabupaten yang memunculkan tokoh independen itu adalah Kabupaten Banyuasin.
Ada Buya di Banyuasin
Banyuasin memunculkan 5 pasang calon bupati. Salah satunya maju dari jalur independen. Bila ditilik namanya, ada "Buya" tersemat di sana.
Bila menyebut Buya, ingatan kita akan tertuju pada Buya HAMKA, Buya Syafii Maarif, atau Buya Yahya. Kata "Buya" ini sebenarnya berasal dari "abuya" berarti ayah. Namun, kata ini mengalami pengkhususan makna. Seseorang yang dipanggil "Buya" berarti memiliki penghormatan khusus dari banyak orang. Salah satu yang dianggap khusus adalah pengetahuan agamanya.
Begitu juga Buya Husni Thamrin Madani yang telah mendirikan Pondok Pesantren terbesar di Banyuasin, Ponpes Qodratullah. Ponpes ini telah menghasilkan lebih dari 20 angkatan lulusan Madrasah Aliyah.
Selain tokoh agama, Buya Husni Thamrin juga dianggap sebagai salah satu tokoh pendiri Banyuasin. Buya mendapatkan penghargaan sebagai  Tokoh Pendiri Pemekaran Kab. Banyuasin pada acara Pelantikan Pengurus  Ikatan Keluarga Banyuasin (IKBA) kota Palembang pada Agustus 2017 lalu. Buya bersama 4 tokoh pendiri-pemekaran  Kabupaten Banyuasin yang lain mendapatkan penghargaan tersebut, yaitu  Drs. H. Anwar Malik, Drs. H. Noer Muhammad, KH. Kaharuddin Aziz, dan Dr.  KH. Burlian Abdullah. Sebagaimana diketahui, Banyuasin adalah hasil dari pemekaran kabupaten Musi Banyuasin pada tahun 1999.
Menggandeng Supartijo
Keputusan maju lewat jalur independen itu pun digenapi Buya dengan menggandeng Supartijo. Setali tiga uang dengan Buya, Ir. H. Supartijo juga adalah pendiri Pondok Pesantren. Ia mendirikan Ponpes Nurul Qolam di Dabuk Rejo, Ogan Ilir. Di Banyuasin, Supartijo mendirikan Yayasan Pendidikan Nurul Ilmi, sebuah sekolah berbasis Islam Terpadu mulai dari jenjang TK hingga SMA/SMK.
Uniknya, pembangunan institusi pendidikan itu tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai petani. Tidak banyak yang tahu bahwa Supartijo punya latar belakang birokrasi di Dinas Perkebunan Sumsel, dan sejak pensiun ia fokus menjadi petani. Ia didapuk sebagai ketua kelompok tani dan ia mengumpulkan zakat dari hasil pertanian/perkebunan kelapa sawit dan karet kelompoknya untuk dijadikan modal pembangunan sekolah. Para anak petani tersebut diberikan hak untuk bisa masuk ke sekolah yang beliau banggakan sama kualitasnya dengan sekolah-sekolah di Palembang.