Inspirasi bisa datang dari mana saja. Misalnya, saya tiba-tiba merasa bangga mengenal seseorang yang membangun sebuah start-up dengan tema agrikultura. Ia menciptakan Tanihub yang membantu para petani baik dalam pemodalan maupun mempertemukan mereka dengan pembeli utama. Padahal ia dulu teman seangkatan saya di Matematika ITB yang para lulusannya rata-rata bekerja di bank. Lulusan Matematika ITB yang lain memilih mundur dari Bank dan memilih menjadi pebatik. Ia mengembangkan kearifan lokal Batik Bogor dan berjuang memperkenalkan Batik hingga ke luar negeri.
Teman saya yang lain, yang sama-sama lulusan STAN, memilih mundur sebagai PNS. Mereka memilih berwirausaha. Rata-rata mereka membangun bimbingan belajar. Bahkan saya kaget, sekitar seminggu lalu, salah satu teman yang sering duduk di samping saya, diwawancarai oleh Net tentang usahanya membuka bimbel CPNS. Teman saya satu ini juga yang sering membujuk saya keluar dari pegawai negeri, tetapi selalu saya tolak karena alasan klise: pengabdian.
Saya bingung ingin menuliskan kisah hidup siapa sampai saya mengingat seseorang yang berbeda, dengan kisah yang luar biasa.
Mungkin tak ada yang tahu bagaimana perasaan seorang anak berusia 4 tahun terpisah dari orang tua kandungnya. Anak itu diangkat anak oleh keluarga lain lalu dibawa pergi bertransmigrasi ke Sumatra Selatan.
Kehidupan yang keras ia jalani dengan segala keterbatasan. Ia membiayai sekolah dari kerjanya ngangon dan mencari rumput untuk makanan ternak. Ia menjalani hidup dengan makan nasi hanya dengan lauk kepala ikan asin yang ditumbuk. Semua hal yang sulit dibayangkan ia lakukan.
Karakternya yang pekerja keras membuat ia diterima sebagai pegawai honor, dan selama itu, ia belajar banyak hal, termasuk berwirausaha. Ia tahu caranya membuat mata tidur, maka ia menanam biji karet dan membuat mata tidur untuk dijual. Sikapnya yang luwes dan pandai bergaul membuatnya memiliki banyak relasi. Ia bahkan mengantar sendiri mata tiduritu antar-Kabupaten yang jaraknya ratusan kilometer dengan sepeda motornya.
Sebagai lulusan SPMA (setingkat SMA), ia tak menyerah soal pendidikan. Ia menyisihkan penghasilannya untuk berkuliah meski sudah memiliki keluarga dengan beberapa anak. Pada umur 38 tahun, ia baru menerima gelar Insinyur. Dan menjadi Insinyur kedua yang ada di wilayah tempat ia tinggal. Ia pun menjadi seorang penyuluh perkebunan dan telah mengunjungi banyak daerah di Sumatra Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H