Sering kita dengar, pemerintah membangga-banggakan capaian  pertumbuhan ekonomi yang positif sebagai bentuk prestasi. Tapi tahukah kamu, dari era Orde Baru, pertumbuhan ekonomi kita juga selalu positif. Hanya ketika krisis keuangan tahun 1997,  pertumbuhan ekonomi kita jatuh. Bahkan Pelita II berhasil menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%!
Sebelum terlalu jauh, kita kudu tahu dulu nih, apa sih sebenarnya pertumbuhan ekonomi itu?
Bolton and Khaw (2006) menyatakan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator  fundamental bagi kesehatan perekonomian. Tingkat pertumbuhan PDB suatu  negara itulah pertumbuhan ekonomi yang menurut Mankiw (2010), menjadi  alasan suatu negara menjadi lebih kaya dan meningkatkan standar  kehidupannya. Model paling familiar adalah Y = C + I + G + (X-M) atau  PDB merupakan fungsi dari konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan  net ekspor (ekspor dikurangi impor).
Saat ini, pertumbuhan ekonomi  sebagai indikator utama kesejahteraan masyarakat banyak mendapat  kritikan. Alasan pertama adalah pertumbuhan ekonomi tidak mewakili  rakyat secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi tumbuh ya, tapi siapa  yang tumbuh? Orang miskin yang menjadi kaya atau orang kaya yang semakin  kaya?
Tak semua manfaat pertumbuhan ekonomi terdistribusi secara  merata. Pertumbuhan GDP riil seringkali disertai dengan melebarnya gap pendapatan dan ketidakadilan dalam kesejahteraan di masyarakat,  dicerminkan oleh bertambahnya kemiskinan (baik rakyat miskin atau juga hampir miskin).
Koefisien gini adalah salah satu cara untuk  mengukur pemerataan tersebut. Semakin besar angka koefisien gini, maka  semakin besar pula ketidakmerataannya. Dua negara yang menjadi contoh  adalah China dan India. Di antara 1990-2012, China mengalami tingkat  pertumbuhan 10,2% dan dalam periode yang sama ketidakmerataan tersebut  meningkat 1,6% (koefisien gini) per tahun. Dalam periode itu, India  mengalami pertumbuhan 6,6%, namun koefisien gininya semula 0,325 pada  1993 menjadi 0,37 pada 2010.
Hal yang sama juga dialami oleh Indonesia.  Perkotaan, Jawa dan Sumatra, menyumbang kontribusi 58,65% dan 21,69% PDB  semester I 2017. Hal ini mencerminkan betapa tidak meratanya  perekonomian Indonesia dilihat dari regionalnya saja. Hampir 80% PDB  hanya ada di 2 pulau.
Dilihat dari pengeluaran, pertumbuhan  ekonomi 5,01% pada semester I 2017 disumbang oleh konsumsi rumah tangga  sebesar 2,65% dan konsumsi pemerintah 1,69%. Ini menunjukkan bahwa arah  fiskal kita berada di sisi konsumsi/permintaan.
Ada argumen  bilang, tidak meratanya distribusi PDB (kaya makin kaya) itu tidak  apa-apa juga, karena si kaya akan makin banyak membayar pajak yang  kemudian menjadi belanja pemerintah untuk membangun infrastruktur dan  pelayanan umum. Argumen kedua bilang, pertumbuhan dengan kontribusi  konsumsi itu tidak apa-apa juga, karena konsumsi mencerminkan daya beli  masyarakat yang tinggi.
Argumen-argumen seperti ini sepintas  benar, namun pada kenyataannya, berbahaya. Seperti ucapan mantan ketua  Bappenas yang bilang tidak apa-apa harga naik, asal daya beli meningkat.  Ini artinya, inflasilah yang terjadi. Saya tadinya bergaji 1 juta bisa  buat beli permen 100. Harga permen naik 3 kali lipat, sehingga saya  butuh 3 juta. Gaji saya naik 3 juta, tetap bisa beli permen 100. Apakah  pertumbuhan ekonomi terjadi? Ya. Tapi pada kenyataannya, pertumbuhan  ekonomi seperti ini tidak ada gunanya, bukan?
If  demand races ahead of aggregate supply the scene is set for rising  prices -- many of the faster-growing countries have seen a trend rise in  inflation -- this is known as structural inflation ~Geoff Riley