Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gender dan Makna Spiritual di Baliknya

15 Juli 2017   08:50 Diperbarui: 15 Juli 2017   17:29 1809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: huffingtonpost.com

Dua jenis peradaban itu harus ada di dunia ini karena mereka saling menyeimbangkan. Cara hidup laki-laki pernah jaya dengan lahirnya peradaban yang teguh, luhur dan bisa dipercaya. Masyarakat pun jadi teratur dan rapi. Namun, jika mengalami kemunduran, peradaban ini akan berubah menjadi kaku, keras, dan picik. Para penguasa akan berusaha mengubah orang lain menjadi yang mereka kehendaki. Hal semacam ini biasanya terjadi ketika zaman mengalami transisi, dan cara hidup lelaki rentan terhadap perubahan zaman. Cara hidup perempuan menyatukan semua perbedaan. Toleransi terhaga dan orang yang berbeda-beda bisa hidup berdampingan dengan damai. Dalam semangat toleransi inilah lahir semangat kebebasan yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun, semangat kebebasan ini bisa kebablasan. Pada saat ia telah melampaui batas, terjadilah penyelewengan dan kemerosotan.

Di satu sisi, manusia membutuhkan keteraturan dan keberadaban. Di sisi lain, manusia membutuhkan kebebasan dan menerima perbedaan. Kedua sisi ini akan selalu hadir di alam semesta, dan saling menyeimbangkan.

Tentang keseimbangan ini: uniknya, dalam satu kaum di Nusantara, mengakomodasinya dalam perspektif gender yang lain. Di Sulawesi Selatan, tidak hanya ada dua gender, laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga ada gender ketiga, yang disebut calabai atau laki-laki yang menyerupai perempuan (untuk perempuan yang menyerupai laki-laki disebut Calalai).

http://www.thepicta.com
http://www.thepicta.com
Dalam novel berjudul Calabai karya Pepi Al-Bayqunie misalnya, diungkap kisah perjalanan seorang Calabai menjadi seorang bissu. Bissu adalah pendeta dalam kepercayaan setempat yang menjaga keseimbangan alam (dua dunia).

Pepi secara tersirat mengatakan bahwa kehadiran Calabai ke dunia adalah bentuk dari ketidakseimbangan. Ayah Saidi adalah seorang tentara yang memiliki kebencian berlebihan terhadap kaum bissu yang pernah secara membabi buta membantai kaum bissu. Kebencian yang berlebihan ini adalah ketidakseimbangan itu. Sebagaimana cara hidup lelaki, yang ketika mengalami kemunduran, akan merindukan cara hidup perempuan. Jiwa perempuan yang lahir akibat ketidakseimbangan itu menjadi jiwa pada anak laki-lakinya yang sudah lama ditunggu kelahirannya.

Seorang Calabai pada dasarnya harus menyadari jalan menjadi Bissu. Menjadi Bissu dalam kepercayaan leluhur bukanlah sebuah aib. Menurut Pepi, Bissu sendiri bermakna bersih atau suci. Bissu yaitu para pemuka spiritual yang telah melampaui sifat laki-laki dan sifat perempuan di dalam dirinya. Bissu bukan pria. Bukan juga perempuan. Tapi, juga bisa disebut pria dan perempuan. Maksudnya, Bissu telah melampaui jenis kelamin. Mereka bertugas untuk menjaga keseimbangan alam.

Tengah: seorang Calabai yang menjadi Bissu. Kate Lamb | Al Jazeera
Tengah: seorang Calabai yang menjadi Bissu. Kate Lamb | Al Jazeera
Seorang calabai harus membersihkan diri dari hasrat duniawi ketika menempuh jalan bissu. Seorang Bissu tidak memiliki nafsu seksual yang berkobar-kobar. Seorang Bissu sejati adalah dia yang telah melampaui nafsu seksualnya. Karena sifat-sifat itulah, seorang Bissu menjadi penghubung antara alam Dewata dan alam manusia.

Sifat Bissu yang melampaui jenis kelamin ini sejalan dengan sifat Tuhan. Maskulin atau pun feminim, keduanya ada. Dan jika kita bicara gender dan keberagamannya pada hari-hari ini, kita juga sudah sepatutnya mengembalikannya pada jalan spiritual.

Ketika sekelompok pria ditangkap di Kelapa Gading, ketika sebuah grup di Facebook membincangkan anak-anak kecil untuk hasrat seksual mereka, apakah itu adalah bagian dari jalan spiritual? Ataukah semua itu hanyalah nafsu belaka? Lalu apakah nafsu di hadapan jalan spiritual?

Dalam perjalanannya menuju Mahadewa, Siwa juga mempertanyakan kejahatan. Apakah kejahatan itu?

Siwa sudah mendapatkan jawaban bahwa setiap manusia bisa menemukan sifat Tuhan di dalam dirinya sendiri. Hara Hara Mahadewa.Setiap orang bisa menjadi Mahadewa. Namun, ternyata ucapan itu juga memiliki sisi lain. Jika ada potensi menjadi Dewa dalam diri setiap manusia, maka juga ada potensi untuk menjadi kejahatan dalam setiap orang. Dan potensi itu berupa hawa nafsu.

Tuhan dan hawa nafsu dalam diri manusia ibarat mata koin dengan dua sisi berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun