Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir

26 Agustus 2016   16:57 Diperbarui: 28 Agustus 2016   00:03 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Pembunuh (baca: manusia) seperti aku dikutuk untuk takluk pada mesin. Hari-hari di dalam hidupku harus dipenuhi mesin-mesin. Mesin harusnya membuat semua pekerjaan menjadi mudah. Nyatanya, orang-orang berlari-lari ke kantor karena takut terlambat. Mesin absen satu itu tidak menoleransi satu detik pun keterlambatan. Aku pernah terlambat datang ke sekolah. Begitu satpam hendak menutup gerbang, aku dapat memasang wajah memelas, memohon-mohon untuk dapat masuk, dan hal itu berhasil. Mesin tidak menerima permohonan semacam itu. Mesin lebih kejam dari pembunuh (baca: manusia) mana pun.

Padahal mesin adalah ciptaan manusia. Aku jadi memiliki hipotesis, pantas saja jika Tuhan Pencipta Alam Semesta disebut dengan nama Maha Pengasih. Pencipta tidak mungkin lebih kejam dari yang diciptakannya.

Aku keluar dari kantor dan jalan-jalan Sumbawa yang sepi hanya menampilkan satu-dua cidomo yang lewat di depan kantor. Aku merasakan lapar karena belum makan sejak semalam. Temanku itu juga pernah berkata kita tidak akan dapat berpikir jika merasa lapar. Hari yang sempurna untuk tidak berpikir adalah hari-hari dengan rasa lapar.

Angin pagi yang dingin segera mengepungku. Aku menikmati kepungan itu karena sebentar lagi ia akan berakhir. Udara dingin di Sumbawa hanya terjadi beberapa jam sebelum terik matahari memanggang bumi Samawa. Segala sesuatu yang sebentar itu menakjubkan. Hidup, bercinta juga demikian.

Aku menutup mata dan berharap waktu berlalu, hari ini segera berakhir.

Kurasakan sesuatu di dalam tubuhku. Kepedihan. Seseorang telah meninggalkan luka. Aku tak tahu cara menyembuhkannya. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun atas luka yang kualami. Andai saja aku bisa seperti pemerintah, yang dengan mudah menyalahkan gejolak perekonomian dunia sebagai penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi dan terpuruknya nilai rupiah. Juga memiliki IMF dan World Bank yang setia memberi saran yang kemudian diikuti mentah-mentah.

Aku tak punya siapa-siapa. Hanya ada satu teman yang kerapkali mengirimkan pesan berisi tautan informasi. Dia tidak pernah bertanya apa kabarku. Dia tidak pernah peduli dengan nasib percintaanku. Tapi dia satu-satunya yang menghubungi ponselku. Mau tidak mau, kuanggap dia temanku.

Barangkali aku orang yang tertutup. Tidak apa-apa, negara-negara yang menutup dirinya relatif baik-baik saja. Negara-negara lainlah yang mempermasalahkannya. Negaraku sebaiknya juga belajar menutup diri, mempersiapkan segala pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya dengan produksi dalam negeri. Globalisasi hanya omong kosong negara-negara maju yang ingin mengambil keuntungan dari negara berkembang dan terbelakang.

Myanmar yang kemudian membuka diri kemudian harus berlari atas nama pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanyalah bertambahnya uang beredar, inflasi, kapitalisme, dan menimbulkan jurang pemisah antara kelompok ekonomi atas dengan kelompok ekonomi bawah. Aku tak mau diriku seperti itu. Tiba-tiba saja aku punya obsesi, punya ambisi, dan aku menjadi sedemikian berjarak dengan diriku sendiri, melupakan hal terpenting: kebahagiaan.

Bahagia itu sederhana. Bahagia datang ketika kita tidak punya banyak pikiran.

Aku tidak tahu dengan jelas kenapa ketika kembali ke rumah, aku malah mandi, gosok gigi, berpakaian rapi—mengenakan seragamku yang berwarna biru muda dan celana bahan berwarna hitam, lengkap dengan sepatu pantofel yang semenjak kubeli belum pernah disemir. Aku masuk ke kantor karena perasaan bersalah, gajiku dibayar dari pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun