Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemakaman K

9 Mei 2016   15:10 Diperbarui: 9 Mei 2016   15:20 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Huruf K.  (ilovegram.com)

Seminggu setelah kepergiannya ke Palu, K harus kembali ke kampung halamannya. Namun, ia kembali dalam bentuk mayat.

Kabar kematian K menyebar dengan cepat seperti  mutasi terbaru virus H5N1. Kabar itu melahirkan pro dan kontra. Tak ada yang dapat membendung perdebatan di antara keduanya. Yang pro mengatakan K memang pantas mati dengan dalih ia telah menimbulkan keresahan luar biasa di masyarakat.  Yang kontra, dengan terpiuh-piuh membalas, tak ada manusia yang pantas mati, tak ada pula yang berhak menentukan kematian manusia sebersalah apapun dirinya.

K mati tersedak. Begitulah kabar yang kuterima. Tetapi, aku paham sekali, sebab kematian seseorang seringkali ditutup-tutupi. Pikirkan, masuk akal tidak, seseorang tiba-tiba saja meninggal saat makan Kaledo. Kuah bening agak kekuning-kuningan dengan tulang kaki sapi yang sedikit dagingnya itu pasti sudah dibubuhi racun. Apalagi tak pernah ada kamera pengawas di warung sederhana di Palu sana. Ada kamera pengawas pun tak menjamin aksi seseorang ketika memasukkan racun dapat terekam.

Atas kematian K itu, atasan kami sebenarnya melarang membikin status apapun. Barangsiapa ketahuan menuliskan sesuatu tentang K di media sosial, siap-siap saja akan mendapatkan hukuman. Paling ringan, hukuman yang serupa K akan didapat. Dipindahkan ke Palu atau ke daerah-daerah lain di Timur Indonesia. Ini yang aku heran, banyak pegawai yang ketakutan mendengarkan kata Timur. Padahal dari Sabang sampai Marauke tetap saja Indonesia. Apa bedanya?

Kabar yang kudengar juga, pemerintah bahkan sengaja menaruh intel di media sosial untuk mengamati dan kemudian melaporkan bila ada pegawai yang terindikasi melakukan provokasi di media sosial. Bahkan bersedih akan dianggap pura-pura bersedih. Air mata dianggap air garam.

“K tak mungkin mati tersedak... ini lelucon pemerintah!” Ada satu kawan yang vokal juga menyuarakan kegelisahan yang sama.

 “Sstt... jangan keras-keras. Tunjanganmu bisa tidak dibayarkan lho.”

“Peduli setan. Ini soal nyawa, sejak kapan bisa lebih berharga dari uang?”

Barangkali kawanku itu lupa, sudah sejak lama uang lebih berharga dari nyawa. Kalau yang muslim pasti teringat kisah perang Uhud. Pasukan muslim sudah memukul mundur pasukan kafir. Melihat harta benda yang ditinggalkan, mereka kalap dan berebut. Mereka lupa pesan Muhammad untuk tidak meninggalkan bukit Uhud agar pemanah-pemanah selalu siap siaga di sana. Namun, apa mau dikata, pasukan kafir yang melarikan diri itu hanya seolah-olah melarikan diri. Begitu lengah, mereka kembali dan segera menempati pos-pos yang ditinggalkan. Hujan ribuan anak panah pun turun dari langit menyerang pasukan muslim sehingga pasukan muslim mengalami kekalahan telak.

Persoalan K juga dimulai dari soal uang. Pada titik ini, aku kerap menganggap K hanyalah martir. Seseorang yang hanya harus menjadi korban atas segala konspirasi. Oh, mungkin kamu semakin bingung ya tentang apa yang sebenarnya terjadi dan mungkin menjadi motif kematian K. Dengan memahami cerita ini, kamu akan segera dapat mengenali niat jahat yang sulit dicari KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun