Ai, itu namaku. Cinta itu arti yang disandangnya. Aku tidak tahu mengapa orangtuaku menamakanku seperti itu, apakah karena aku adalah wujud dari cinta ataukah mereka berharap aku tumbuh menjadi seorang gadis yang penuh dengan cinta? Entahlah.... Satu hal yang pasti, seperti kebanyakan anak gadis keturunan suku Hakka di Indonesia, aku dibesarkan dengan cinta kepada tradisi dan kebudayaan suku Hakka. Salah satunya adalah melukis payung kertas yang aku tekuni sampai sekarang. Aku suka melihat payung kertas yang polos seperti sebuah kertas kosong, menunggu untuk sebuah sapuan kisah. Jari-jemari Laotse Cen yang lentik mulai menggerakkan kuas, warna-warni cat mulai bercampur, pelan-pelan mulai terlihat sekumpulan bunga ataupun seekor burung terlukis dengan indahnya. Ya! Laotse Cen adalah guruku selama ini, dialah yang telaten mengajarkan bagaimana melukis dengan hati, dari dialah kecintaanku terhadap kebudayaan perlahan mulai muncul. "Selamat pagi semuanya, hari ini Laotse meminta kalian untuk melukis kebahagiaan. Selamat berkarya." Kata laotse Cen sambil tersenyum. Wah.... Bagaimana caraku melukis kebahagiaan ya? Tak hentinya otakku berpikir sambil mulai menyiapkan peralatan lukisku. Seperempat jam telah berlalu, aku melihat teman di kanan dan kiri sudah mulai melukis kebahagiaan menurut versi mereka, aku masih tercenung diam, apa ya yang bisa aku lukis? Ah.... Aku tahu.... Aku akan melukisnya sekarang, itulah menurutku sebuah kebahagiaan! Sambil tersenyum puas, aku yang mendadak mendapatkan ide mulai melukis dengan semangat. Tak terasa hari pun menjelang sore..... "Matahari sudah tak lagi menyengat diatas ubun-ubun kepala, angin sore yang sepoi-sepoi ringan membelai tengkuk, saat yang tepat untuk mulai menceritakan lukisan kebahagiaan kalian diatas payung kertas. Siapa yang mau memulai?" Tanya laotse Cen sambil memandang ke semua muridnya. "Saya laotse." Siu Li mengacungkan tangannya. "Baiklah Siu Li. Majulah, ceritakan ke semua teman apa itu kebahagiaan menurutmu." "Aku melukis dua pasang kupu-kupu yang cantik terbang mengelilingi seorang anak gadis. Dua pasang kupu-kupu ini adalah kakek dan nenek, dan anak gadis itu adalah aku sendiri. Menurut cerita nenek waktu masih hidup, kakek dan nenek yang sudah meninggal ketika rindu dengan cucunya mereka akan berubah menjadi kupu-kupu dan mendatangi cucunya di dunia, menjaga meski dalam bentuk yang lain. Itulah arti kebahagiaan menurutku, mengetahui bahwa orang tersayang selalu ada di dekatku." "Bagus sekali Siu Li, pengandaian yang manis, lukisan yang cantik." Kata laotse Cen memuji. "Aku juga mau bercerita laotse." Ling melambaikan tangannya diatas kepala dengan semangat. "Tentu saja Ling, majulah, ceritakan ke semua teman disini apa itu kebahagiaan menurutmu." Saat Ling membuka payung kertasnya, banyak terdengar tawa yang ditahan, tak terkecuali laotse Cen pun diam-diam tersenyum melihat lukisan Ling yang seperti anak kecil. "Eh teman-teman jangan tertawa dulu. Biarkan aku bercerita lebih dahulu. Alasan aku melukis matahari, udara dan air hanya melukis simbol saja seperti lukisan anak kecil adalah..... karena menurutku kebahagiaan itu adalah sesuatu yang sederhana. Bisa merasakan hangatnya matahari, menghirup udara yang bersih dan tak pernah kehausan dengan air yang berlimpah, itu sesuatu kebahagiaan menurutku. Lihatlah bagaimana itu semua diberikan gratis oleh Tuhan kepada kita. Jadi buat apa susah-susah memikirkan bentuk kebahagiaan padahal kebahagiaan itu memiliki bentuk yang paling sederhana?" Sambil nyengir tapi tetap serius Ling menjelaskan. "Wah, dalam sekali ini filosofi lukisan kebahagiaan Ling. Ternyata didalam bentuk yang sederhana bisa terdapat sesuatu yang tidak sederhana ya? Bagus sekali Ling." Laotse Cen memuji sambil bertepuk-tangan. "Sebelum kita semua pulang untuk bersiap-siap makan bersama di malam Imlek, laotse mau dengar satu lagi cerita, siapa yang mau menutup sesi kita kali ini? Ai? Laotse lihat dari tadi kamu gelisah seperti ingin bercerita lebih." "Iya laotse, biarkan Ai yang menutup sesi dengan lukisan kebahagiaan Ai." Dengan mantap aku berjalan ke depan. Sebelum membuka payung kertasku, aku menghirup nafas dalam-dalam dan memandang sekeliling. Melihat begitu banyak mata siap menyimak ceritaku, membuatku agak grogi, tapi biarlah yang penting aku sudah melukis kebahagiaan yang terbaik menurutku. Bukankah kebahagiaan sejati akan berbeda bagi setiap orang? "Teman-teman dan Laotse yang Ai sayangi. Mungkin semua bingung melihat begitu banyaknya gambar di payung kertas ini. Ada gambar orang naik pesawat terbang, naik kereta api, naik mobil, naik kapal laut dan bahkan ada yang berjalan kaki. Ada juga gambar orang yang diam di rumah memasang hiasan imlek, bersih-bersih rumah, dan ada sebuah meja panjang penuh dengan makanan. Ini semua sebenarnya adalah cerita keluarga besarku. Keluarga besar kami memiliki 100 anggota keluarga, itu berdasarkan perhitungan terakhir waktu berkumpul di imlek tahun lalu, jumlah yang luar biasa ini termasuk cucu cicit dan buyut yang tersebar di seluruh Indonesia. Jarak tidak menghalangi kita semua untuk berkumpul di malam imlek. Itulah yang disimbolkan dari gambar orang yang naik berbagai macam alat transportasi, asalkan bisa datang di waktu malam imlek. Sekarang, meskipun nenek dan kakek kami telah meninggal, tapi semangat kebersamaan itu tetap ada, sebagai gantinya adalah anak tertua dari kakek dan nenek yang menjadi tempat kami pulang untuk merayakan jamuan makan malam imlek bersama. Itulah arti kebahagiaan menurutku, saat dimana kebersamaan itu tetap terjaga dan tali persaudaraan tidak putus meski jarak dan waktu menjadi penghalang." "Memang tidak mudah Ai untuk bisa mengumpulkan orang sebanyak itu di malam imlek, luar biasa sekali kalau bisa tetap berkomitmen untuk berkumpul bersama di malam imlek. Berikan tepuk tangan untuk keluarga besar Ai! Dengan ini laotse menutup sesi belajar kita hari ini, GONG XI FAT CHAI semuanya! Semoga tahun yang baru membawa peruntungan yang baru buat kita semua, amin." [caption id="attachment_158136" align="aligncenter" width="300" caption="illustration paper umbrella art / english.eastday.com"][/caption]
*Gong Xi Fat Chai 2012*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H