Pergi… Tidak… Pergi…Tidak…Pergi… Tidak… Pergi…
“Ah, kelihatannya aku harus pergi ya?”, gumam Langit dengan gelisah.
Bahkan kelopak bunga terakhir yang tercabut ini pun memerintahku untuk pergi pada akhirnya.
Semua ini berawal dari inbox di kompasiana, yah disitulah pertama kali awal kegelisahanku. Sampai jari-jariku yang biasanya paling lincah mengetik membalas inbox pun mendadak menjadi kaku, tak tahu harus membalas seperti apa kepada Bumi.
Bumi…. ah nama yang beberapa hari terakhir ini membuat aku menjelma menjadi sebuah sosok yang bukan diriku sama sekali. Sering melamun, bahkan tersenyum diam-diam sambil membaca postingan Bumi yang sudah kusimpan dalam sebuah folder khusus di laptopku. Sering sekali mengecek postingan darinya hanya karena ingin mengetahui bagaimana suasana hatinya, sebab bukankah apa yang kau tulis itulah cerminan dirimu sesungguhnya baik diakui atau tidak?
Sambil tersenyum gelisah Langit mulai membuka folder di laptop miliknya, folder dengan nama “Bumi”. Sekali klik langsung menuju ke sebuah postingan awal kekaguman Langit pada Bumi, tentang sebuah “Malaikat Tak Bersayap”.
Malaikat tak selamanya bersayap.
Ada malaikat tak bersayap.
Ialah yang hadir saat tak diminta, lalu bisa pergi kapan saja saat ia kalah.
Ialah pasangan hidup yang mengakui ketidaksempurnaannya, lalu memberanikan diri mencari sebelah sayapnya.
Ialah yang berkata, tidak berkata dirinya malaikat, tapi bahwa ia membutuhkan sebelah sayap.
Kau tahu? Karena ia hanya butuh itu, untuk menjadikannya dipanggil sebagai malaikat.
Tak pernah ia menyebut dirinya malaikat,
tapi pasangannya yang akan mengatakan padanya, “Kau malaikatku”.
Dan jika saat itu sudah tiba, sepasang sayapnya telah utuh.
Sekarang, lihatlah ia yang ada di sampingmu.
“Kalimat-kalimat bersayap ini entah berapa kali telah aku baca, bahkan sampai diluar kepala aku mampu mengucapkannya, ah Bumi kaukah itu sebelah sayapku? Haruskah aku menemuimu?”, gumam Langit.
Kegelisahan Langit semakin menjadi-jadi, malam sudah semakin larut menyisakan keheningan tanpa jawaban.
***
Kring…. Kring… Kring….
Langit terlonjak bangun dari tidurnya. Sambil tangannya menggapai-gapai dari balik selimut untuk mematikan weker. Barulah dia sadar setelah beberapa menit, itu bukan suara weker, tapi suara telpon.
“Huh, siapa juga ya yang telpon sepagi ini?”, gerutu Langit dalam hati sambil buru-buru mengangkat telpon dengan malas.
“Halo.”
“Ya.”
“Bangun.”
“Ini sudah bangun.”
“Wah jutek banget suara kamu ya Langit? Kayak sebel ama aku nih.”
“Ya iyalah, sepagi ini sudah telpon, ada apa? Awas aja kalau nggak penting.”
“Ih ini anak, mau dibantuin malah marah-marah. Aku ini telpon buat bantu kamu membuat keputusan tahu.”
“Keputusan apaan? Aku bukan anak kecil yang harus dibantu untuk membuat keputusan.”
“Hahahaha… Masak sih? Terus siapa dong yang tadi malam sms aku nanya kopdar atau nggak dengan Bumi? Bukan Langit ya, berarti Langit jadi-jadian ya yang sms aku? Hahahaha….”
Kalimat terakhir dari temannya, si Laut, membuat kepala Langit mendadak pening karena ingat sampai sudah berganti hari tetap belum ada keputusan mau membalas ajakan kopdar si Bumi.
“Huhu…. Gimana dong Laut? Enaknya gimana? Aku terima sajakah ajakan kopdar si Bumi?”
“Sekarang aku tanya dulu ke kamu, kenapa kamu merasa ragu untuk kopdar dengan Bumi? Apa yang kau risaukan Langit?”
“Hm… Apa ya… Mungkin karena selama ini aku melihatnya sebagai sosok yang perfect banget dengan kelihaiannya menjadikan setiap kata memiliki sayap. Bayangan dirinya sudah begitu sempurna dimataku, tapi itu di dunia maya ya, aku takut saat bertemu dengannya di dunia nyata dan ternyata dia tidak sesempurna bayanganku.”
“Nah, kalau begitu semuanya tergantung dirimu sendiri Langit. Beranikah kamu mengambil resiko itu? Resiko kecewa bila ternyata Bumi tak sesempurna itu? Tapi aku yakin tulisan seseorang tidak mungkin menipu, kalau Bumi romantis di dunia maya seharusnya seperti itulah di dunia nyata juga. Sudah temui saja dia, terimalah ajakan kopdar Bumi.”
Perkataan Laut membuat Langit yang semula ragu menjadi mantap. Sambil menjepit gagang telpon dengan kepala miring ke bahu, Langit mulai mengetik balasan inbox ke Bumi di kompasiana miliknya.
***
Café Pelangi tepat jam 7 malam, duduklah Langit disana menanti kedatangan Bumi. Sengaja Langit datang lebih dahulu, selain untuk menenangkan gemuruh di hatinya, juga karena satu hal yang tidak dia sukai adalah membuat orang lain menunggunya.
Menit demi menit berlalu, entah sudah berapa cangkir kopi dihabiskan Langit malam ini. Belum lagi puntung rokok yang berjejalan di asbak depan Langit yang semakin bertambah tiap menitnya. Kegelisahan membuat Langit menyalakan rokok dan belum sampai habis sudah buru-buru dimatikan setiap kali pintu masuk café itu terbuka mengira bahwa Bumi yang datang mendorong pintu itu.
Tak terasa sudah 2 jam lebih Langit menunggu, kegelisahan mulai berganti ke kemarahan. Membuat Langit membulatkan tekad sudah tidak mau menunggu lagi. Segera dia memanggil pelayan, membayar bill dan melangkah keluar dari café dengan hati kesal.
Gubrakkkk……..
Langit menabrak seseorang dalam ketergesaannya keluar dari café, emosi yang mengaduk-aduk hatinya membuat kepala yang terbentur menjadi pening lebih hebat, tubuhnya serasa seringan kapas yang pasrah melayang jatuh kebawah. Untunglah ada sepasang tangan kokoh sigap menerima tubuh Langit sebelum jatuh ke lantai aspal parkiran cafe.
“Bumi? Kaukah itu?” Pertanyaan terakhir Langit sebelum kegelapan menguasainya.
***
Selanjutnya tongkat estafet kolaborasi berdelapan ini Princess serahkan ke Langit untuk meneruskan kisah ini…. Tangkap say…. ;-)
~Kolaborasi 8 Perangkai Kata~
Afandi Sido / Bunda Ninha / Edi Kusumawati / Princessediary / Langit / Mujib Hamzet / R-82 / Valentino
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H