Mohon tunggu...
MIRANDA NASUTION
MIRANDA NASUTION Mohon Tunggu... Konsultan - Saya perempuan yang hobi menari. Saya anak ragil dari pasangan Alm. Aswan Nst dan Almh Tati Said. Saya punya impian menjadi orang sukses. Motto hidup saya adalah hargai hidup agar hidup menghargai Anda.

Tamatan FISIP USU Departemen Ilmu Komunikasi tahun 2007, pengalaman sebagai adm di collection suatu bank, dan agen asuransi PT. Asuransi Cigna, Tbk di Medan. Finalis Bintang TV 2011 oleh Youngth's management. Pimpinan Redaksi Cilik tahun 2002-2003 (Tabloid Laskar Smunsa Medan).

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Putri Permata Episode Jamuan Makan Orang Kulit Putih

17 Mei 2024   10:38 Diperbarui: 17 Mei 2024   11:03 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Putri  Permata merindukan kedua orang tuanya. Dia hendak pulang, tetapi ada saja yang menjadi penyebab keinginannya itu belum terrealisasi. Apalagi sekarang, perasaannya sedang tidak menentu setelah mimpi yang baru dialaminya. Dia teringat ketika ibunya mengatakan, "Waktu kecil kita pernah ke Maluku." Permata membayangkan bagaimana enaknya berada di kapal. Kecintaannya terhadap lautan memang warisan dari ayahnya atau diturunkan oleh ayahnya. Kecintaan Maulana terhadap lautan mendapat dukungan dari sang istri tercinta. Ibunya putri Permata  memang mendukung suaminya, apalagi memang kebiasaan ini sudah mendarah daging .  Putri Permata berpikir-pikir lagi, "Ada baiknya aku mengajak Yusuf."

Akan tetapi keesokkan harinya, Permata mengurungkan niatnya untuk mengajak Yusuf, karena ingat ibunda dari Yusuf sedang sakit. "Mungkin aku bisa membicarakannya nanti." Pintu diketuk. "Waah pagi-pagi begini Yusuf sudah tiba." Permata pun tersenyum melihat tambatan hatinya. "Oh ya, Permata kita mendapat undangan makan dari Diego," Yusuf tersenyum.
"Maaf sepertinya aku tidak bisa, Yusuf. "
"Mengapa? Menambah teman itu baik. Kita bisa mempelajari budayanya."
"Teman?"
"Iya apalagi?"
"Aku punya jadwal untuk pergi jauh," Permata spontan ingin pulang untuk menutup kegalauannya.  "Kalau kau tidak ikut aku pun tidak." Permata sedikit terkejut, "Kau baik sekali, tetapi kau tidak perlu repot menemaniku ke Ujung Pandang."  Yusuf terkejut, "Mengapa? Bukankah itu lebih mesra dan aku ingin mengajak kedua orang tuaku melaut. "
"Maksudmu suatu saat nanti kita balik ke Jayakarta lagi?" tanya Putri Permata. "Ya terkadang bersama kedua orang tua adalah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan."
"Benar. Kita sehati. Aku semakin yakin," jawab Permata.  "Tssstt...jangan takabur,"  Yusuf mengingatkan sang pujaan hati. "Yusuf aku berharap kau setuju kalau aku berangkat nanti malam." Yusuf tersenyum dan berkata, "Baiklah bukankah lebih cepat lebih baik. Semoga kita pun lebih cepat untuk saling memiliki."  Permata pun mengangguk dengan mata hampir berkaca-kaca.

                                                                     """"
"Ningsih!!!" Diego memanggil
"Hai, Diego!"
"Hai juga. Mari kita ke sana. Makanan sudah dihidangkan." Ningsih datang bersama temannya. Sementara sebelum ke Pelabuhan Permata  menyempatkan diri untuk menjumpai temannya, Rining. Rining telah menikah dengan orang kulit putih.  "Aku senang sekali kita berjumpa lagi," Rining mengawali perjumpaan mereka. "Aku juga. Sekarang aku sedang membutuhkan....," Permata sedikit terbata-bata. "Bantuan? " sambung Rining penuh pemikiran. "Iya informasi."  "Mengenai?" Rining binggung. "Tentang...Hmmh...mohon maaf terlebih dahulu." "Iya... aku penasaran tentang apa?" tanya Rining melanjutkan kebinggungannya. "Aku merasa akan ada maksud terselubung dari pihak suamimu," Permata merasa harus menahan kata-katanya.
"Entah mengapa aku merasa firasatmu ada benarnya atau mungkin akan menjadi benar di kemudian hari," Rining menanggapi Permata dengan bijaknya. "Sayangnya ini  akan menyebabkan penderitaan." Rining semakin ingin tahu, "Di pihak kita?" Permata terdiam dengan memendam perasaan tidak percaya. "Mengapa? Tetapi suamiku meski berbeda dengan kita, firasatku mengatakan dia tidak akan menjadi penyebab penderitaan yang kau maksudkan teman." "Hebat kau Rining. Kau bisa membaca hatiku. Pantas kau putri dari teman Andi Maulana." Rining menjawab, "Terima kasih karena itulah aku tidak marah ketika kau sedikit menyudutkan suamiku. Aku memuaskan pertemanan kita dengan setia di pihak yang sama, negeri ini," jelas Rining lembut dan tegas.
"Maka kau akan mengajak suamimu berbicara lebih jauh agar duduk perkara segera diketahui."  
"Tentu saja, nona," jawab Rining langsung ke pokok permasalahan.
"Bagaimana tidak? Apa ada yang menunda, misalnya kelezatan makanan," tanya Permata berbinar-binar.
"Tentu saja. Kau tahu kan ayahkulah yang menemani pangeran Maulana dalam pelayarannya dengan memanjakan lidah ayahmu," Rining mengingatkan Permata.
"Dan itu pun pasti istrinya tercinta yang mengajarinya."
"Bukan tapi aku," sanggah Permata tak masuk akal, dengan maksud hanya berkelakar.
"Haaaha. Enggak lucu. Itu kan mustahil." Mereka pun sepertinya akan segera menyantap makanan yang lezat-lezat.
"Permata, aku tidak percaya kau tukang makan, sementara tubuhnya singset," jelas Rining keheranan. "kau datang saja, maksudku menyusul Ningsih," saran Rining yang telah mendengar kabar tentang perjamuan makan.  "Sebaiknya kau segera bergegas dari sini agar ada informasi yang bisa didapat."

                                                               """"""""

 "Aku enggan menghadiri acara orang-orang bermata biru ini," kata Permata.
"Sabarlah sayang. Aku berada di sisimu," bujuk Yusuf dengan tulus dan penuh cinta.
"Ningsih dan pria asing tersebut dekat sekali, tetapi pria tersebut sepertinya lebih menyukai Permata.
"Silakan duduk teman-teman," kata Diego.
Permata tidak terlalu senang dengan makanan yang disajikan. Permata teringat dengan hidangan yang dibuatkan ibunya, putri Rembulan.
"Anakku. Janganlah kau tinggalkan ibumu ini. Ibu merasa tidak tenang. Cuman kau anak ibu," putri Rembulan berkata sedih.
"Ibu, aku ingin sekali pergi ke Jayakarta. Ada saudara ibu kan di sana."
"Ayah setuju. Bukankah saudara ibu alim ulama?"
"Baiklah kakanda, jika kakanda menyetujui."
"Putri Permata teringat kata-kata ibunya dulu. Sebelum dia ke Jayakarta. Sekarang setelah dua tahun di Jayakarta, Permata ingin pulang.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun