Betapa hatiku terusir malu,
malunya ditutupi badai hujan sejak tadi sore,
yang menabur jawabanku tak sepadan oleh batin,
Dari pertanyaan kecil yang kutemui,
berbunyi: kira-kira apa sih?
Namun berujung balas lelucon di depan kelirku,
Jumpa keesokan harinya;
Kembali terinjak di lumpur lengket, lengketnya endapan kalimat yang membuang makna itu sendiri.
Betapa bingung rasanya, kuterdiam beku...
Bak es membatu yang sulit dibagi-bagi,
Mengapa terjatuh pada lubang jarum di bayangan salahku?
Mengapa anganku mulai terkocak tak berdaya?
di hari pekan ke 3, bulan Desember masih bermusim hujan...
Jemari kanan ini mengetik peribahasa:
Seperti katak di bawah tempurung.
datangnya purnama berulah maaf pada hal yang tak boleh menginap di laman instagram khalayak ramai,
semua itu tertuju benturan imajinasi,
telah kurekam dalam kepala:
oh inilah ternyata prasangka diriku yang tiba-tiba bisa begitu...
Terpenjara kekikukan yang mengapung di bawah ombak kata-kata...
Wahai diksi, semudah bermain akal,
Akal mampu menjelma catur,
Banyak arti menurut alasanku:
Cuma berdiri di jemuran sepi,
Cuma merangkai diam seribu bahasa,
Lebih baik menatap sunyi di langit biru,
Lebih baik menulis lamunan puisiku,
Ya itulah akhir segalanya tanpa berkutik apapun lagi,
Selamat tinggal dunia opini!
18-19 Desember 2020
*Happy Mother Day for today, 22-12-2021*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H