Mohon tunggu...
Andhitya Widuri
Andhitya Widuri Mohon Tunggu... -

Tuhan tinggal dua hal..... 'bernafas dan menulis'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kilometer 12

7 November 2011   11:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:57 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Berdiri sejenak di jembatan km 12 tol Tembalang. Menatap matahari yang dengan malu malu muncul dari ufuk timur. Ada aku dan seorang sahabatku. “  Andai setiap hari seperti ini….” kata sahabatku yang sedang terpukau menatap matahari. “ Surga ………” sahutku sambil lalu. “ Tepat sekali!” timpalnya tanpa menatapku. “ …………” aku hanya tersenyum sambil menoleh sejenak memperhatikan sosok sahabatku yang semakin hari tampak semakin kurus. Muncul sebuah perasaan –pilu- yang hanya bisa kuekspresikan melalui …. senyuman. Sangat beratkah beban hidup yang sedang ditanggungnya? Entahlah, jiwanya terlalu dalam untukku dapat menyelam. Kupalingkan wajahku dari sahabatku, dan kembali fokus pada diriku.Entah sudah berapa lama aku tidak seperti ini. Berhenti sejenak dari rutinitas harian yang seringkali membuat migranku kambuh. Memang pekerjaanku adalah ibadahku, sebuah pengabdian yang tak pernah kuperhitungkan seberapa besar pengorbanannya dan seberapa besar upahnya. Namun terkadang setulus apapun sebuah tindakan atau sebaik apapun sebuah idealisme tetap saja akan ternoda oleh tuntutan-tuntutan dan penilaian-penilaian yang diciptakan oleh situasi lingkungan sosial. So? Sometimes, yes I do, that I am a humble, but sometimes the deepest of my heart scream loudly, ‘ I need my time to do my own!’ Statement (egois) tersebut tidak akan pernah terhapus dari lembaran kamus kehidupanku. Saat ini aku sedang gundah. “ Rasanya ringan banget..” celetuk sahabatku tiba-tiba, masih dengan menatap mataharinya. “ What? Apanya?” dan kembali aku mencoba menyelami jiwanya. “ Deadline –kalau dalam satu bulan ini aku ngga bisa nyelesain skripsi, aku bakalan di DO- jadi ringan banget di otakku..” “ Aneh! Bisa ya? hah ha..”candaku. Tetap tidak bisa menyelam. “ Tarik saja matahari di depan sana! Masukkan ke dalam hatimu! That’s enough!” kuperhatikan matanya terpejam, dari bibirnya keluar seulas senyuman kelegaan. Senyuman memang punya banyak makna, seperti dalam lukisan monalisa. “ Re…ally…?” logika macam apa yang bisa membuatmu berhasil memasukan matahari ke dalam hatimu? So silly. Batinku. Tiba-tiba hening melanda kami berdua. Sssrrrsshhhh….  hanya terdengar bunyi kendaraan yang sedang melintas di jalan sana. Aku terpaku memperhatikan sahabatku, sampai ada semacam magis yang membuatku menirukannya.  Perlahan kupejamkan mata dan kuundang sang mentari untuk masuk ke dalam hatiku. Mulanya kukira kami berdua sedang stress-ing akibat kekomplek-an rutinitas dan kenyataan hidup. Atau… kukira kami berdua hanya ingin melarikan diri dari stress-ing itu sendiri? Entahlah. Daripada pusing memikirkan alasan. Sahabatku ada benarnya. Nikmati saja saat-saat sang mentari pagi masuk ke dalam hatimu. Rasannya seperti…. jarum jam sedang berhenti berputar sejenak. Semuanya berhenti. Alunan kegalauan dalam pikiranku, alunan kegelisahan dalam hatiku. Semuanya… kecuali detak di jantungku. “ Rose….?” kataku masih dengan mata terpejam. “ Yah?” “ Menurutmu apa yang paling berharga di dunia ini?” “ Detak jantung…” “ So how?” “ Karena pada detak itulah Tuhan menaruh banyak harapan dan impianNya.” “ Kalau detak itu tidak terdengar? Karena sekeliling kita terlalu bising? “ Beristirahatlah, dan jadilah tenang...” “ Kalau detak itu berhenti?” “ Semua harapan dan impianNya akan ikut terkubur bersama kita.” “ So simple….” Kilometer 12. Sebuah tempat peristirahatan di tengah kebisingan. Kami berdua menikmati matahari pagi yang Tuhan anugerahkan khusus untuk kami hari ini. “ Sudah….?” sampai panas matahari mulai terasa menyengat kulit. “ Yap…” Dan kami pun berjalan pulang dalam keadaan yang lebih tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun