Hari ini 22 Juni 2011 bertepatan dengan hari ulang tahun provinsi DKI Jakarta yang ke-484. Kebetulan tahun ini bertepatan juga dengan masa akhir KTP saya yang beralamat di Jakarta, meski tiga tahun terakhir sudah berdomisili di Makassar. Saya hanya ingin mengingat kembali memori "bersejarah" ketika hidup di Jakarta.
Ketika hidup di Jakarta antara tahun 2002 hingga 2007, saya pertama kali berurusan dengan kalangan dunia hitam Jakarta. Meski Jakarta penuh dengan lampu temaram, tetapi dunia hitam lebih eksis dengan ciri kekerasan dan kekejaman. Dunia hitam yang saya maksud adalah pengalaman kecopetan handphone berulang-ulang didalam transporasi massal.
Kecopetan pertama, saya alami di Pondok Cina, Depok menuju Jakarta. Waktu itu hari masih pagi. Waktu ketika padat-padatnya kereta listrik Depok-Jakarta. Banyak yang memilih bergelantungan dan berada diatas atap kereta untuk menghindari berdempet-dempetan didalam ruang kereta yang sesak. Saya bertekad untuk berada didalam ruang kereta meski berdesakan. Ketika saya duduk di emperan stasiun kereta, sempat saya mengecem pesan sebelum saya taruh di kantong celana. Rupanya ada mata yang dari tadi mengintai gerak-gerik saya menggunakan handphone. Ketika saya menaiki kereta, orang yang tersebut langsung ikut naik dan langsung memepet saya. Seketika itu juga handphone saya melayang ketika saya rogok kocek celana. Sadar handphone dicopet, kontan saya berteriak bahwa saya kecopetan. Namun secepat kilat, orang yang saya curigai langsung melompat turun pada stasiun berikutnya yakni stasiun UI Depok. Akhirnya saya relakan handpone nokia kesayangan saya melayang.
Kecopetan kedua ketika baru saja menghadiri sebuah diskusi rutin di Hotel Peninsula setiap sabtu pagi yang digelar sebuah lembaga kerjasama dengan Pro2 RRI. Kebiasaan yang sama saya lakukan yakni memainkan handphone sambil menunggu bis menuju Lebak Bulus. Ternyata dihalte itu sudah ada sepasang mata yang memperhatikan gerakan saya memainkan handphone. Ketika saya melompat ke atas bus kota, seketika itu juga beberapa pemuda melompat ke atas bus dan langsung memepet badannya ke saya. Ketika saya duduk dan mengecek handphone, baru sadar ternyata sudah berpindah tangan. Saya langsung berdiri dan memberitahu para penupang dan kondektur bus. Kondektur rupanya ketakutan membeberkan pelakunya karena nampak seseorang berbadan besar berdiri didekat pintu belakang yang belakangan disebutkan oleh kondektur sebagai kawanan pencopet. Pelakunya sendiri menurut kondektur itu sudah turun terlebih dahulu di sekitar jalan S Parman.
Inilah sisi lain potret pengalaman saya di Jakarta. Hak-hak warga untuk bebas dari rasa aman masih belum menjadi perhatian Pemerintah DKI Jakarta sehingga kejahatan dan kriminalitas marak di seantero sudut ibukota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H