Mohon tunggu...
PriMora Harahap
PriMora Harahap Mohon Tunggu... karyawati -

Female. Just an ordinary people and resident of Jakarta who loves and interested in writing, singing, dancing, reading, playing piano, listening to the music (especially classic & jazz), art & culture, social, economic, politic, finance and learning new things more interesting.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Jurnalistik Negeri Ini???

9 Juli 2014   11:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:53 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hingar bingar berita seputar pilpres di berbagai media memborbardir publik dengan berbagai informasi.Tak pelak sejumlah media yang jelas terafiliasi dengan partai atau kubu capres-cawapres tertentu menyajikan berita2 yg telah disesuaikan dengan agenda kepentingan masing-masing melalui proses pembingkaian informasi.Bahkan beb erapa media tampak acap menyimpang dari kode etik jurnalistik dalam proses pengolahan beritanya.

Entah apa yg sedang terjadi pada media negeri ini. Entah apa pula yg merasuki para pekerja media yg dengan mudahnya menanggalkan ‘jubah’ profesionalitasnya dalam menjalankan profesinya.

Puncaknya adalah terbit dan edarnya tabloid Obor Rakyat yg dipersiapkan dan dibuat oleh mereka yg masih dan pernah berprofesi sebagai jurnalis. Mereka meng-claim tabloid besutannya sebagai produk jurnalistik, yg lahir sebagai sebuah bentuk perjuangan dan peran media sebagai watch dog.

Benarkan demikian ???

Dewan Pers dan AJI telah jelas menyatakan bahwa tabloid Obor Rakyat sama sekali bukan produk jurnalistik, karena proses pengerjaannya tidak mengikuti mekanisme kerja jurnalis dan tidak mengacu pada kode etik jurnalistik.

Ditilik dari penjelasan Darmawan Sepriosa mengenai proses kerja yg dilakukannya maka tabloid Obor Rakyat ini tidak ubahnya dari sekedar Klipping informasi2 yg simpangsiur di berbagai mediaberbasis interner, yg dilakukan tanpa proses verifikasi sumber berita dan validasi kebenaran berita. Tidak ada proses check dan recheck maupun cover both side kepada pihak2 yg dijadikan subjek berita dalam pemuatan berita di dalamnya.

Uraian permakluman Darmawan yg menyamakan tabloid besutannya itu dengan Suara Independen terbitan AJI di masa rezim Orde Baru masih berkuasa juga menjadi sangat tidak masuk akal sehat manusia waras manapun.

Suara Independen jelas mencantumkan alamat redaksi yg sesungguhnya, sedangkan tabloid Obor Rakyat mencantumkan alamat palsu. Apa tujuannya ???

Jajaran redaksi Suara Independen juga tidak bersembunyi di balik nama samaran ataupun alias, hingga beb erapa bahkan sempat mendekam di balik jeruji bui, di era kebebasan pers dan berpendapat hanyalah sebatas angan-angan.

Sedangkan tabloid Obor Rakyat yg ‘terbit’ di era demokrasi dengan kebebasan pers sudah bukanlagi sebuah hal yg tabu, Darmawan Sepriosa justru menggunakan nama samaran dengan dalih agar tidak diketahui oleh media tempatnya resmi bekerja.

Dalih Darmawan Sepriosa yg mengatakan tabloid terbitannya itu sebagai bentuk perjuangan dan penerapan fungsi watch dog oleh media juga tidak dapat dimaklumi.

Dimanakah letak nilai perjuangan seorang Darmawan bagi kemaslahatan negeri ini bila sekedar untuk menghadapi resiko kemungkinan dipecat dari media tempatnya bekerja saja tidak berani ???

Fungsi watch dog yg dijalankan hanya sepihakpun menjadi sebuah tanda tanya besar, karena peran watch dog semestinya dilakukan secara berimbang kepada semua kandidat. Sejatinya media harus berperan untuk memberikan informasi yg berimbang kepada publik.

Pola distribusi secara diam-diam hanya ke segmen target tertentu saja merupakan perbedaan tabloit Obor Rakyat berikutnya dengan Suara Independen. Dalam manajemen pemasaran, pemilihan segmen target secara spesifik tentu memiliki pertimbangan tertentu yg dirasakan akan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yg diharapkan. Maka apakah tujuan dari pemilihan segment target tabloid Obor Rakyat ini ?

Dalam proses kerjanya jurnalis bahkan tidak diperbolehkan memasukkan preferensinya untuk menjaga objektivitas produk medianya. Namun jurnalis dapat menuangkan pendapatnya dalam kolom opini, ataupun editorial yang disediakan ruang khusus. Media seyogyanya harus melakukan pemisahan ruang antara produk jurnalistik yang objektif, opini redaktur dan produk iklan. Artikel yang mengandung unsur iklan dan dibiayai oleh pengiklan tetap harus diberikan judul atau tanda khusus seperti Infotorial atau Advertorial untuk tidak menyesatkan publik pembacanya dan demi tetap menjaga tingkat independensi media dalam fungsi dan perannya sebagai penyaji informasi.

Karya tulis dari seorang jurnalis tentu saja tidak serta merta dapat digolongkan sebagai produk jurnalistik bila tidak memenuhi kaidah2 dalam kode etik jurnalistik. Sehingga sebuah karya yang hanya berisi opini sang penulis apalagi tanpa didukung oleh fakta yang akurat tentu tidak dapat disebut sebagai produk jurnalistik.

Meningkatnya berbagai penyimpangan kode etik jurnalistik oleh sejumlah jurnalis dan media partisan ini, besarnya intervensi para pemilik modal ataupun pihak2 berkuasa terhadap pengambilan keputusan di dalam news room telah merusak fungsi dan peran media sebagai pemb eri informasi yang faktual dan berimbang, yang semestinya independen dari pihak manapun. Bila hal ini tidak mendapat perhatian serius, tidak mustahil bangsa ini suatu saat akan menancapkan papan bertuliskan : RIP Jurnalistik Indonesia.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun