Kebebasan berpendapat memang harus dijunjung tinggi, karena bila tidak berarti kitapun kembali ke zaman kelam, mengalami kemunduran di era demokratisasi yg justru sedang giat digaungkan di negeri ini. Kebebasan berpendapat memang perlu dimulai, untuk membiasakan rakyat dan khususnya pemimpin negeri ini legowo menerima kritik yg dapat menjadi feedback bagi sebuah proses pembenahan diri. Bahkan konon orang akan sulit maju tanpa kritik dan tidak akan berkembang bila menutup diri dari kritik karena akan selalu merasa paling benar dan unggul. Kebebasan berpendapat memang harus dibudayakan, sehingga memungkinkan alur informasi berimbang bagi masyarakat luas, yang akan mengimbangi info2 dari media arus utama yg belum tentu menyentuh hal2 yg sering dianggap remeh temeh namun menarik dan sering luput dari pemberitaan arus utama. Budaya menghargai kebebasan pendapat yg dibangun pada bangsa ini juga yg akhirnya akan memupus tindakan2 anarki sepihak terhadap para jurnalis, memberangus kekerdilan jiwa terhadap kritik.
Namun harus diingat...
Kebebasan berpendapat harus disertai sebuah TanggungJawab. Tanggungjawab kepada lingkungan sekitar, tanggungjawab sebagai bagian dari masyarakat.
Bahkan dalam tataran lebih tinggi lagi bila memungkinkan melalui pendapat setiap orang dapat berperan aktif menunjukkan tanggungjawabnya sebagai warganegara di republik ini, tanggungjawab untuk turut mencerdaskan bangsa, tanggungjawab untuk turut berperan memajukan dan membenahi negara tercinta, walau sekedar melalui sebuah pendapat dan tulisan.
Untuk itu, pendapat maupun informasi yg diberikan hendaknya dapat memberi nilai lebih bagi pembacanya, syukur2 bisa memberi manfaat positif kepada masyarakat, setidaknya mencerahkan atau paling tidak sekedar sebuah info yg dapat dipertanggungjawabkan, yg mengacu pada fakta, keabsahan teori atau bila memungkinkan data yg valid.
Sehingga bila membuat tulisan non fiksi maka menulislah berdasarkan fakta yg kasat mata, yg sudah ditemukan, kecuali memang meniatkan diri untuk menulis fiksi dimana seluruh tokoh dan cerita di dalamnya pun haruslah fiktif.
Banyak hal yg sebenarnya dapat diberikan dalam konteks kebebasan berpendapat, apalagi di era teknologi dimana beragam media tersedia. Tergantung kita akan memberikan yang mana. Yg positifkah atau negatif? Tergantung pilihan kita.
Peran seperti apakah yg ingin kita mainkan dalam konteks bermasyarakat.
Kesadaran dan pilihan peran tentu akan mencerminkan seperti apa kualitas kedewasaan penulisnya.
Bersembunyi di balik sebuah alias atau bahkan anonim tentu tidak mencerminkan sebuah jiwa yg dewasa. Menggunakan alias dan anonim menunjukkan si penulis tidak siap terhadap tanggapan dan bahkan kritik atas pendapat yg dilontarkannya sendiri, yg berarti si penulis tidak siap untuk proses pembenahan dan pengembangan diri.
Menanggapi atau mengkritik dengan menggunakan alias dan anonim juga menggambarkan kekerdilan jiwa, ketakutan untuk menerima kembali feedback atas kritikannya. Atau bahkan memang sejak awal melontarkan tanggapannya, si pengkritik sudah dihantui ketakutan akan tanggungjawab sosial yg akan dituntut oleh masyarakat pembaca karena memang merasa telah melontarkan kritik/tanggapan tanpa dasar.
Berani berbuat tentu harus berani bertanggungjawab. Apapun bentuknya itu. Termasuk berbuat dalam bentuk menulis, berpendapat, atau bahkan sekedar memberi tanggapan dan kritikan.
Berani menunjukkan Jati Diri juga berarti berani bertanggungjawab atas setiap perbuatan dan ucapan, baik yg dilontarkan maupun ditulis. Penggunaan Jati Diri menunjukkan kebesaran jiwa pemiliknya dan kebanggaan atas diri sendiri.
Lalu mengapa harus malu mengungkapkan Jati Diri?
Bila kita malu dengan Jati Diri sendiri, siapa lagi yg kita harapkan akan menghargainya?
Hargai dan banggalah dengan Jati Diri kita sendiri maka orang lainpun akan menghargai kita.
Sehingga penggunaan Jati Diri sepertinya juga merupakan bagian dari etika berpendapat, baik di ranah nyata maupun maya. Penggunaan Jati Diri menunjukkan tingkat keberanian dan kebesaran jiwa seseorang untuk menerima tanggungjawab atas setiap pendapatnya.
Bangga atau malukah kita dengan Jati Diri kita sendiri?
Setiap tulisan yg dibuat - dalam bentuk apapun - apalagi yg dilontarkan ke ranah publik akan berjejak, meninggalkan kenangan. Setiap kata tertulis memberikan gambaran diri.
Maka kenangan seperti apakah yg kita inginkan untuk setiap tulisan kita? Ingin dikenang seperti apakah kehadiran kita di ranah tulis-menulis? Gambaran diri seperti apakah yg kita harapkan akan tercipta?
Sebagai seorang ksatria yg berani bertanggungjawab atas setiap kata tertulis atau sekedar seorang pengecut dan pencacimaki tanpa dasar?
Gelar Komentar Primora Harahap --> Pepih Nugraha untuk postingan Perkara Netiquette (1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H