Mohon tunggu...
PriMora Harahap
PriMora Harahap Mohon Tunggu... karyawati -

Female. Just an ordinary people and resident of Jakarta who loves and interested in writing, singing, dancing, reading, playing piano, listening to the music (especially classic & jazz), art & culture, social, economic, politic, finance and learning new things more interesting.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Framing dan Agenda Setting - Penggiringan Opini Publik

9 Juli 2014   11:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:53 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Framing atau pembingkaian informasi lazim terjadi pada penyajian berita di media. Kerap kali sulit dihindari terjadinya proses framing oleh seorang jurnalis dalam mengolah informasi menjadi sebuah berita, sehingga tak pelak menghasilkan bias walau tanpa unsur kesengajaan. Framing dapat dikatakan sebagai cara untuk memberikan penafsiran dengan mengisolasi beberapa fakta-fakta. Sehingga dengan framing, jurnalis memberi bingkai atau rangka dalam mengolah sejumlah fakta-fakta / informasi yang akan disajikan.

Tidak jarang, proses framing dilakukan dengan sengaja , mengacu pada agenda yang telah ditetapkan oleh sebuah media, yang biasa disebut sebagai agenda setting. Tujuannya tentu saja untuk mengarahkan informasi atau berita ke sebuah persepsi ataupun opini publik yang diharapkan, atau dengan sengaja ingin menciptakan bias informasi akan sebuah issue tertentu. Dengan demikian sejumlah fakta yang dirasakan mendukung agenda yang diharapkan akan diangkat sebagai berita. Adapun fakta yang tidak sesuai dengan agenda media tidak akan diolah menjadi berita.

Sepanjang masa kampanye Pilpres, proses framing tampak nyata marak dilakukan oleh sejumlah media yang kepemilikannya jelas berafiliasi dengan partai ataupun capres-cawapres tertentu. Sejumlah media terlihat kerap mengangkat berita-berita positif dari capres-cawapres yang memiliki keterkaitan dengan partai afiliasinya, dimana para jurnalisnya dengan sengaja membingkai atau membuat kerangka pada informasi-informasi tertentu saja yang dapat mendukung peningkatan elektabilitas capres-cawapres andalannya. Sedangkan informasi yang tidak sesuai lainnya tidak akan diangkat menjadi berita. Atau dengan mengambil sudut pandang tertentu saja dari sebuah issueyang dirasakan sesuai dengan agenda yang ditetapkan.

Begitupun, dilakukan secara sengaja ataupun tidak, proses framing tetap harus berdasarkan pada fakta-fakta informasi yang diperoleh dan diolah jurnalis dengan berpegang pada kode etik jurnalistik. Karena berita adalah fakta, dan bukan fiksi. Sehingga dasar informasinya haruslah berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dan diolah sesuai kaidah-kaidah dalam kode etik jurnalistik, dimana diantaranya mensyaratkan sumber berita telah diverifikasi dan dilakukan pemberitaan berimbang melalui proses cross check maupun cover both side.

Apapun alasannya, seberapapun besarnya kepentingan agenda yang ditetapkan oleh media, seyogyanya proses framing tetap harus mengikuti kode etik jurnalistik dan berpijak pada fakta yang berimbang pada setiap sisi ataupun subjek pemberitaan.

Hal inilah yang membuat, proses framing dalam pemberitaan terkait PDIP oleh stasiun TV One yang tidak mengikuti proses kerja jurnalistik dan telah mengabaikan kode etik jurnalistik dengan tidak dilakukannya proses cross check dan cover both side untuk mendapatkan informasi yang berimbang dari sisi PDIP sebagai subjek pemberitaan, menjadi sebuah langkah yang tidak dapat dibenarkan.

Keinginan dan hasrat teramat besar dari news room TV One untuk memenuhi ‘harapan’ pemilik modal dengan ‘memotong’ gambaran keseluruhan fakta-fakta yang semestinya ada dan hanya mengambil sebagian saja yang dapat masuk ke dalam rangka (frame) yang telah dibentuk sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan, tanpa mengikuti pedoman kerja dalam kode etik jurnalistik, sungguh sebuah langkah blunder yang ditempuh oleh sebuah stasiun televisi yang mengkhususkan dirinya sebagai stasiun tv berita.

Setidaknya telah beberapa kali TV One melakukan kesalahan dalam membingkai informasi yang diberitakannya dengan mengabaikan proses cross check, cover both side maupun verifikasi kualifikasi narasumber. Tatkala memberitakan terbunuhnya pentolan teroris Noordin M Top dengan bungkus berita sedemikian mencekam dan bombastis, dan membingkainya hanya pada informasi tentang adanya teroris yang tewas tertembak dan ingin mengangkatnya dari sudut pandang akan sebuah keberhasilan mendapatkan liputan eksklusif penggerebakan malam itu. Namun ternyata saat itu sang gembong teroris masih bernafas hidup dan menjadi buron, karena korban tewas hanyalah anggota teroris lainnya. Kesalahan ini terjadi karena tidak berjalannya proses cross check ke pihak kepolisian mengenai korban yang tewas tertembak. Demikian pula saat stasiun tv ini menghadirkan narasumber yang ternyata tidak memiliki kualifikasi untuk bidang pembahasan yang diangkat sebagai tema di sebuah acara bincang-bincang, yang pada akhirnya diakui sendiri oleh sang narasumber.

Sejatinya sebuah stasiun tv berita harus sangat memperhatikan kualitas isi berita yang disajikan untuk dapat meraih kepercayaan khalayak pemirsanya. Bila tidak maka lambat laun tingkat kepercayaan publik atas kualitas kebenaran informasi yang disajikan stasiun tv ini akan terkikis yang dapat berakibat pada menurunnya minat publik dan bahkan sikap antipati khalayak terhadap sajian acaranya.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun