Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya di dalamnya (cultural diversity). Tetapi, perkembangan teknologi akhir-akhir ini membawa dampak yang besar menjadikan dunia seolah nyaris tanpa batas.Â
Pengaruh globalisasi yang mudah sekali menyebar dari berbagai media informasi apabila tanpa difilter baik positif maupun negatifnya, dikhawatirkan akan mengikis budaya nusantara (lokal) yang telah berlangsung secara turun-temurun.
Dengan terkikisnya budaya lokal, maka identitas dan jati diri bangsa Indonesia sedikit demi sedikit akan tergilas dan akhirnya hilang. Hal ini dapat terlihat dari karakteristik masyarakat yang sudah jarang ditemukan masih menanamkan nilai-nilai lokal, terutama pada generasi muda. Akibatnya banyak generasi muda yang keluar jalur dan lebih bangga mengikuti lifestyle negara luar daripada bangsanya sendiri. Kekhawatiran tersebut rupanya mulai ditunjukkan oleh pemuda-pemudi di Kota Pahlawan, Kota Surabaya.Â
Dengan jumlah penduduk sebanyak 2.960.129 jiwa (BPS, 2016), Surabaya berpeluang menjadi titik berkumpulnya beragam kebudayaan yang berbeda-beda dari berbagai daerah. Apabila tidak dibarengi dengan kontrol sosial secara aktif dari masyarakat, tentunya hal ini menjadi sangat riskan khususnya bagi pemuda bangsa yang meliputi para pemuda di Kota Surabaya. Hal ini cukup disayangkan lantaran pemuda merupakan motor penggerak kemajuan peradaban bangsa ke depannya.
Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan partisipatif untuk mendorong para pemuda Surabaya ikut berperan aktif melakukan aksi preventif pada dirinya sendiri maupun orang lain. Salah satu caranya ialah dengan membekali pengetahuan tentang bahaya fenomena dinamika akulturasi.Â
Berkaitan dengan hal tersebut, AKU SUROBOYO! merupakan program yang memiliki tujuan spesifik pada pelestarian budaya lokal Surabaya dan penghindaran bahaya akulturasi bagi para arek-arek Suroboyo. Dengan adanya kegiatan ini, kondisi mental yang awalnya rentan diharapkan dapat menjadi lebih baik hingga didapatkan manfaat jangka panjang, yakni para generasi muda yang tangguh terhadap bahaya akulturasi.
Melalui kerjasama dengan para veteran perjuangan Surabaya dan Komunitas Benang Jarum Surabaya (etnografis), kegiatan ini difokuskan pada perkumpulan aktivis SMA Negeri 6 Surabaya sebagai mitra inisiasi gerakan. Sebagai sekolah lawas dan merupakan kawasan cagar budaya, siswa/i SMAN 6 Surabaya juga tidak terlepas dari derasnya infiltrasi budaya asing.Â
Hal ini dibenarkan oleh hasil penilaian kualitatif sederhana yang telah dilakukan, yakni sebanyak hampir 2/3 siswa-siswi tersebut mengalami akulturasi. Berbasis metode kepemanduan, pelaksanaan program AKU SUROBOYO! memiliki empat hierarki outcome dalam mengukur kepedulian siswa/i terhadap budaya lokal, yakni mulai dari tahu, paham, peduli, dan berkelanjutan. Dengan adanya program AKU SUROBOYO!, diharapkan dapat menambah kepedulian dan kecintaan bagi generasi muda bangsa terhadap budaya lokalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H