Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Membedah Kekacauan Konsorsium IPL

28 Juni 2012   18:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:26 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Mendekati akhir kompetisi IPL, semakin banyak klub-klub IPL yang menjerit karena kehabisan dana. Terlambatnya pembayaran gaji pemain dan tidak adanya dana operasional untuk bertanding membuat klub-klub tersebut berniat menuntut konsorsium yang selama ini menjanjikan pendanaan untuk kompetisi IPL. Ada sebuah pertanyaan besar terkait keberadaan konsorsium ini, seperti apa bentuk kontrak perjanjian antara klub dan konsorsium? Kalau memang konsorsium dinilai melanggar janji, mengapa tak ada klub yang membeberkan dengan sebenarnya kontrak perjanjian tersebut. Hal ini penting agar tidak terjadi kesalahpahaman, bahwa memang konsorsium sudah melanggar janji, ataukah semua itu hanya sekedar asumsi belaka.

Konsep konsorsium dalam IPL kalau dilihat agak mirip dengan apa yang sudah dijalankan di Major League Soccer, Amerika Serikat. MLS, yang didirikan tahun 1993 untuk menyambut Piala Dunia 1994 mempergunakan sistem konsorsium tunggal. Dalam sistem ini, konsorsium membuat aturan cost controling, dimana seluruh pengeluaran klub akan ditanggung oleh konsorsium dan dikelola oleh operator liga. Pemilik klub akan mendapatkan jatah saham (contoh 70:30), Untuk menjaga agar penggunaaan modal tetap terkontrol maka penghasilan akan dikelola oleh liga. Kontrak pemain akan dinegosiasikan oleh liga, pemain dikontrak oleh liga (pelatih dan pemain asing) dan bukan oleh klub. Jadi pemain punya opsi untuk berpindah klub kalau tidak puas dengan klubnya atau sebaliknya.

Dalam pengaturan kontrak pemain, MLS mencontoh sistem dari NBA. Dimana klub dibatasi dalam besarnya biaya untuk mengontrak pemain (salary cap). Seluruh klub MLS hanya diijinkan memiliki maksimal 30 pemain, dengan 18 pemain yang didaftarkan untuk pertandingan. Dari 30 pemain tersebut, dibagi dalam dua daftar kategori untuk besaran gaji. Pemain yang berada di urutan 1-24 menerima gaji maksimal $42.000 (data tahun 2011), sedangkan pemain yang berada dalam urutan 25-30 menerima gaji maksimal $32.600. Selain salary cap, MLS juga menerapkan aturan base on age contract dan Adidas Golden Generation Contract (khusus pemain muda). Pemain yang menerima gaji maksimum $32.600 harus berumur dibawah 25 tahun.

Sistem kepemilikan tunggal ini rencananya akan dilaksanakan selama 10 tahun. Tapi dalam perkembangannya, sistem konsorsium dengan sistem cost controlling itu membuat orang berlomba-lomba menanamkan modal dan menjadi sponsor MLS. Keuntungan MLS meningkat dan kemudian mengubah sistem expansinya. Tidak perlu menunggu 10 tahun, setiap klub sudah bisa dimiliki oleh pemodal di luar holding (konsorsium). Bahkan MLS memberikan insentif kepada pemilik klub pribadi seperti hak kepemilikan untuk beberapa pemain potensial yang ada di youth academy, sharing profit marketing, dan bisa menjual jersey klub. Tidak sampai 10 tahun, 19 klub MLS dimiliki oleh 17 pemodal yang berbeda.

Kalau sistem kompetisi IPL meniru MLS, mengapa IPL tidak bisa sesukses MLS? Malah kacau ditengah-tengah kompetisi?

Di IPL, Semua pendapatan hasil liga (tiket, sponsor, hak siar dll) plus uang dari konsorsium di kumpulkan dan dikelola oleh Liga. Klub hanya diberi biaya operasional (gaji dll) yang diberikan secara berkala. Klub masih berpeluang mencari pendapatan sendiri diluar itu melalui sponsor lokal, diversifikasi usaha dan lain sebagainya. Begitu kompetisi selesai, ada laporan dari Liga kepada masing-masing klub berapa neraca keuangannya.

Untuk mengumpulkan uang dari konsorsium tersebut, tentu saja membutuhkan Bank. Nah, bisa ditebak, bank mana yang dipercaya Liga untuk menaruh uang konsorsium tersebut. Ketika bank tersebut tiba-tiba sebagian besar sahamnya dijual dan sedang dalam tahap diakuisisi oleh pemilik baru, tentu saja uang konsorsium tidak bisa serta merta diambil. Akibatnya, biaya operasional yang dijanjikan menjadi macet.

Parahnya, ketika klub mengetahui konsorsium sedang kesulitan untuk mencairkan dananya, tidak ada upaya apapun untuk mencari sumber pendanaan lainnya. Tidak ada usaha untuk mencari sponsor, atau usaha untuk menarik minat suporter supaya lebih banyak yang datang ke stadion, agar ada dana segar yang bisa mengalir ke kas klub. Semuanya pasrah menanti uluran tangan konsorsium.

Akibatnya bisa ditebak, gaji pemain terlambat dibayarkan, dan tak ada dana operasional untuk bertanding. Dan mogok main pun menjadi pilihan terakhir. Jangan harap kompetisi seperti ini akan sehat dan bisa berjalan hingga akhir musim. Opsi yang terbaik bagi klub yang hanya bisa menengadahkan tangannya seperti pengemis ini hanyalah membubarkan diri. Toh sudah tidak ada gunanya lagi. Daripada terus membebani kompetisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun