[caption id="attachment_382147" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi wacana pembekuan PSSI. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)"][/caption]
Wacana untuk membekukan kepengurusan PSSI semakin menguat pascagagalnya timnas senior di kancah AFF 2014. Suporter Indonesia, yang kembali harus dikecewakan setelah hasil buruk yang dituai Timnas U-19 di AFC Cup U-19 mendesak pemerintah, dalam hal ini Kemenpora untuk segera mengintervensi PSSI. Mereka menganggap gagalnya dua timnas di kancah internasional tersebut tak lepas dari buruknya dan amburadulnya pengelolaan PSSI. Terlebih setelah terjadinya insiden sepak bola gajah antara PSIS Semarang dan PSS Sleman. Mafia judi, pengaturan pertandingan, suap-menyuap pemain dan wasit, komersialisasi timnas hingga tidak transparannya PSSI dalam pengelolaan hak siar adalah beberapa alasan yang dianggap suporter Indonesia bisa membuat pemerintah turun tangan untuk mengintervensi.
Tagar #BekukanPSSI kemudian menjadi trending topic di dunia maya menyusul vonis kemenangan suporter Indonesia yang tergabung dalam Forum Diskusi Suporter Indonesia pada sidang sengketa informasi melawan PSSI di Komisi Informasi Pusat. Ditambah dengan efek tayangan Mata Najwa dalam episode Dagelan Bola, di mana banyak narasumber yang mengatakan kondisi sepak bola Indonesia sudah kritis, dengan banyaknya pengaturan pertandingan dan main mata dengan mafia judi.
Pertanyaannya, benarkah langkah membekukan PSSI merupakan satu-satunya solusi yang bisa membawa kembali kejayaan sepak bola Indonesia?
Membekukan PSSI, dalam arti pemerintah mengintervensi kepengurusan PSSI mempunyai dampak yang jelas dan nyata, yakni turunnya sanksi dari induk organisasi sepak bola dunia FIFA. Mungkin, banyak pihak yang akan mengamini dan setuju PSSI diintervensi, dan biarlah sanksi FIFA menjerat Indonesia. Berpikir biarlah mundur satu langkah, demi kebaikan di masa depan. Namun, perlu dipikirkan juga efek domino dari sanksi FIFA tersebut.
Yang pertama jelas klub-klub Indonesia tidak bisa berpartisipasi dalam kompetisi mancanegara seperti Liga Champions Asia (ACL) dan Piala AFC. Pun begitu dengan timnas Indonesia di semua kelompok usia, tidak akan diperkenankan mengikuti kompetisi internasional. Jika PSSI dibekukan, kompetisi sepak bola dalam negeri memang masih bisa berjalan, dengan syarat: Ada penanggung jawab, ada ijin dari kepolisian, serta non status FIFA, dalam arti juara kompetisi tersebut tidak akan bisa mengikuti kompetisi lanjutan di regional Asia.
Apakah semua klub dan suporternya bisa memaklumi efek tersebut? Patut dicatat, bahwa di tahun ini PSSI berhasil meloloskan Persib Bandung sebagai juara ISL untuk berlaga di babak play off ACL serta Persipura Jayapura di kompetisi AFC Cup, dan Arema Cronous sebagai klub cadangan. Seperti diketahui, Persib Bandung, Persipura dan Arema Cronous masing-masing mempunyai basis suporter yang besar dan militan. Setujukah ketiga kelompok suporter tersebut dengan kebijakan membekukan PSSI? Penulis pikir tidak yakin ketiga kelompok suporter tersebut setuju dan mendukung langkah membekukan PSSI. Terutama bagi Bobotoh Persib Bandung. Karena, bagaimanapun juga, ini adalah pertama kalinya Persib Bandung kembali berlaga di kancah internasional setelah menunggu 19 tahun lamanya.
Dengan begitu, kebijakan membekukan PSSI justru akan menimbulkan efek gesekan antar suporter itu sendiri. Di mana satu pihak mendukung, dan di pihak lain tak rela klubnya terkena imbas sanksi FIFA.
Di satu sisi, hanya ada tiga pihak yang bisa membekukan PSSI. Pertama adalah FIFA sebagai induk organisasi, dengan prasyarat jika, dan hanya jika PSSI terbukti melanggar statuta FIFA, kode displin, kode etik dan ada intervensi dari pemerintah. Kedua adalah KONI, sebagai induk olahraga di Indonesia, dengan syarat jika PSSI terbukti melanggar Undang-Undan Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Dan ketiga adalah Kemenpora, sebagai perpanjangan tangan pemerintah, dengan syarat jika PSSI ditemukan melanggar tiga Undang-Undang yang bisa jadi pintu masuk intervensi pemerintah, yakni UU SKN, UU Tenaga Kerja (menyangkut pemain dan pelatih), serta UU Perseroan Terbatas (terhadap klub anggota PSSI).
Efek yang kedua adalah berhentinya proses pembinaan sepak bola Indonesia. Dengan turunnya sanksi FIFA, otomatis timnas di semua kelompok umur tidak dapat mengikuti kompetisi internasional. Jelas hal ini akan merugikan pembinaan dan pengembangan timnas itu sendiri.
Sebenarnya, ada satu solusi yang bisa membawa pemerintah, dalam hal ini Kemenpora untuk ikut campur dalam membenahi sepak bola tanah air, tanpa harus intervensi terlalu jauh dan mengundang sanksi FIFA. Yakni dengan mendorong para pemilik suara (voter) untuk mengganti kepengurusan yang sekarang dengan kepengurusan yang baru, yang lebih kredibel dan dapat dipercaya melalui Kongres PSSI di tahun 2015 nanti.