Ada masa ketika saya sangat terobsesi dengan berbagai metrik kesombongan: jumlah pembaca, jumlah komentar, jumlah dibagikan, berapa banyak yang menilai. Metrik-metrik tersebut adalah ukuran kesuksesan seorang penulis online, karena terkait langsung dengan sumber penghasilan.
Seiring usia yang semakin menanjak, lebih dari dua bulan belakangan ini frekuensi menulis saya di Kompasiana menurun drastis. Jika dulu saya bisa menulis 1-2 artikel dan menayangkannya dalam satu hari sekaligus, sekarang jarang sekali. Dalam sebulan, paling hanya belasan artikel yang saya terbitkan di Kompasiana.
Bukan karena saya mulai jenuh menulis. Bagi saya, menulis adalah aktivitas yang wajib saya lakukan setiap hari, meski tidak semua tulisan saya menjadi artikel penuh dan saya tayangkan hari itu juga. Menulis adalah satu-satunya cara yang masih bisa saya lakukan untuk menjaga otak saya tidak tumpul dan tetap sehat.
Di luar itu, Kompasiana sudah banyak berjasa terhadap karier saya sebagai penulis konten. Lewat Kompasiana-lah nama saya melambung dan dikenal. Kompasiana adalah satu-satunya etalase karya tulis dan yang telah mendidik saya hingga menjadi seperti sekarang.
Menurunnya jumlah artikel yang saya terbitkan di Kompasiana lebih banyak disebabkan kesibukan menyiapkan pelajaran untuk anak-anak TK dan mengasuh TPQ, sekaligus keinginan saya untuk mengurangi aktivitas digital.
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya di artikel minimalis digital, berkurangnya aktivitas saya di dunia digital tidak banyak membawa pengaruh dalam hal pertemanan saya. Sangat sedikit orang yang peduli atau bahkan menyadari bahwa saya telah tiada di daftar pertemanan media sosial mereka. Saya tidak menerima pesan apa pun yang menanyakan saya selama saya pergi dari keriuhan media sosial dan dunia penulisan online.Â
Pembaca yang Merindukan Kehadiran Penulisnya
Namun, sangat sedikit bukan berarti tidak ada. Di tengah kesunyian kehidupan dunia digital yang saya alami, ada satu pesan dari seorang pembaca yang sangat menyentuh hati. Pesan yang pada akhirnya mengubah dan menguatkan pandangan saya tentang hakikat menulis.
Pesan ini datang dari Bapak Herman Yoze. Â Awalnya, pak Herman Yoze mengeluhkan keberadaan iklan yang selalu muncul di halaman Kompasiana dan meminta petunjuk bagaimana cara menghilangkan iklan tersebut.
Yth. Bapak Himam Miladi,Â
Saya seorang pembaca setia Kompasiana, penyuka tulisan-tulisan Bapak, lansia 80 tahun yang masih banyak gaptek.
Belakangan ini saya merasa sangat terganggu setiap membaca Kompasiana. Sebabnya adalah munculnya iklan di bagian kiri halaman itu. Iklan itu terus menerus muncul selama tayang tulisan. Ada tanda palang kecil di sudut kiri atas iklan dan itu selalu saya ketuk untuk menghilangkannya. Namun hanya sesaat hilang, kemudian muncul lagi. Ini berbeda dengan iklan-iklan lain di halaman sama di bagian kanan Kompasiana. Ketika tanda palang kecil di bagian kanan iklan itu diketuk, iklanpun tidak lagi muncul sampai halaman berganti.
Saya mohon Bapak berkenan memberikan petunjuk bagaimana cara dapat mengatasi hal itu (mengilangkan iklan di bagian kiri tulisan di Kompasiana).Terimakasih atas perhatian dan kesudian Bapak.
Membalas email beliau, saya jelaskan ke Pak Herman Yoze, bahwa iklan tersebut memang sengaja ditampilkan bagi pembaca biasa. Untuk menghilangkannya, kita harus berlangganan akun premium.
Di email berikutnya, pak Herman Yoze menyampaikan terima kasih, sekaligus menanyakan kabar saya.
Entah karena mulai pikun di usia yang hampir 80 tahun atau sebab yang lain, saya merasa belakangan tulisan Bapak di Kompasiana tak sebanyak sebelumnya. Benarkah itu? Sekiranya benar, saya harap itu bukan karena gangguan kesehatan Bapak namun oleh sebab yang lain. Saya senantiasa berharap Bapak selalu dikaruniai kesehatan yang baik, usia yang panjang dan kemudahan dalam segala hal. Dengan demikian, kiranya saya boleh berharap Bapak selalu berkenan berbagi pengalaman maupun ilmu seperti sediakala. Juga boleh dan berkenan pula menjadi tempat saya bertanya-tanya tentang berbagai hal dan memperoleh jawabannya dalam waktu cepat seperti ini.
Bagi saya, email balasan dari pak Herman Yoze tersebut tak bisa tergantikan dengan metrik jumlah pembaca. Apresiasi jujur dari pak Herman Yoze, seorang lansia 80 tahun yang setia membaca tulisan saya dan menantikan kehadiran saya tidak bisa dinilai dan diganti dengan nominal rupiah dari K-Rewards, berapa pun jumlahnya.
Komentar dan doa dari pak Herman Yoze, pembaca yang sebelumnya tidak saya kenal sama sekali, adalah berlian paling berharga yang pernah saya temukan selama karir kepenulisan saya. Komentar tersebut juga semakin meneguhkan pandangan saya, bahwa ukuran kesuksesan seorang penulis tidak tergantung dari metrik apa pun. Melainkan dari bagaimana tulisan-tulisannya bisa memberi dampak, sekecil apa pun bagi pembacanya. Seorang penulis yang sukses adalah penulis yang tulisannya dikagumi, menginspirasi, dan kemunculannya dirindukan pembaca, sekalipun itu hanya dari satu orang pembaca saja.
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya (HR Ahmad, Thabrani & Daruqutni)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H