Jaman dulu, setiap kali petinju Elias Pical bertanding satu kampung ikut heboh. Dari orangtua sampai anak kecil menonton di televisi milik pak RT yang sengaja di bawa ke balai RT agar banyak warga bisa ikut menontonnya.
Saat Elias Pical bertanding, ramai sorak-sorai dukungan dari warga yang melihat siaran langsung di TVRI. Beberapa orangtua bahkan mengangkat kedua tangan, dan berdoa memohon kemenangan bagi petinju kebanggaan Indonesia itu.
Waktu berlalu, masa kejayaan Elias Pical pun berakhir. Olahraga favorit masyarakat beralih ke bulutangkis. Ketika Alan Budikusuma, Susi Susanti dan Ardi B. Wiranata sukses menembus final Olimpiade Barcelona 1992, kenangan saat menonton dan mendukung Elias Pical kembali terulang. Semua warga kompak memberikan memberikan dukungan moril. Semua warga serentak memanjatkan doa agar Tuhan memberikan kemenangan kepada atlet Indonesia. Hampir semua warga juga ikut meneteskan airmata haru ketika mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang dan melihat tangis Susi Susanti.
Masa-masa indah seperti itu tak bisa kita nikmati lagi semenjak saluran komunikasi masyarakat dan media informasi dipenuhi pendengung atau buzzer tak bermoral. Dengan enteng seolah tak punya rasa empati sama sekali, para buzzer tak bermoral ini mencuit dan mengunggah beragam postingan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan. Tanpa mengindahkan sikap toleransi, mereka terus membuat narasi yang bernada kebencian dan memecah belah anak bangsa.
Jaman saya masih kecil dulu, tak ada yang menanyakan status atlet yang berprestasi. Tak ada yang kepo mempertanyakan agamanya Susi Susanti, Alan Budikusuma atau Elias Pical. Tak ada yang tiba-tiba membandingkan Susi Susanti itu warga keturunan atau pribumi.
Sekarang, agama atau ras anak bangsa yang berprestasi tiba-tiba menjadi isu yang sensitif. Buzzer-buzzer tak bermoral itu melempar narasi yang menyudutkan suku, agama, ras dan antar golongan tertentu.
Sebenarnya, tak ada yang salah dengan profesi buzzer. Di era digital, keberadaan buzzer atau pendengung termasuk dalam bagian strategi pemasaran digital. Banyak perusahaan memanfaatkan buzzer untuk mempromosikan produk atau mereka mereka.
Sayangnya, profesi yang halal dan terhormat ini menjadi ternoda karena ulah segelintir buzzer-buzzer tak bermoral yang bermain di ranah politik. Mereka, buzzer politik yang tidak mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.
Seringkali, berita dan informasi hoaks mereka viralkan demi satu tujuan tertentu. Bila di kemudian hari informasi yang mereka sebar itu palsu, cukuplah dengan menghapus postingan. Tak ada penyesalan, apalagi permintaan maaf pada pengguna media sosial lain yang sudah ikut menyebarkan informasi palsu tersebut. Ujung jari mereka lebih cepat bergerak daripada otak dan hati.
Mereka sudah sering dilaporkan pada aparat yang berwenang dengan berbagai pasal yang bisa menjerat. Namun kenyataannya, mereka sampai saat ini aman-aman saja. Sehingga ada kesan buzzer-buzzer tak bermoral ini sengaja dipelihara.