Minggu (4/7) malam, ibu mertua saya mendadak mengalami sesak nafas. Biasanya, sebisa mungkin kalau ibu sesak nafas saya rawat di rumah karena kami punya tabung oksigen sendiri.
Tapi, keadaan ibu ternyata tambah parah. Nafasnya terdengar sangat berat dan belum juga membaik sampai oksigen di dalam tabung menipis.
Saya pun menelpon dokter yang biasa menangani ibu dan setelah menceritakan kronologisnya, kami disarankan membawa ibu ke UGD Rumah Sakit Tentara dr. Soepraoen, tempat ibu biasa dirawat.
Waktu kami sampai di sana, ruang UGD sudah penuh sesak. Sementara di lobby sudah antre 2 ambulan yang juga membawa pasien sesak nafas.
Oleh dokter jaga, kami diberitahu kalau UGD RST sudah tidak menerima pasien karena keterbatasan bed dan tabung oksigen.
Akhirnya kami membawa ibu ke Rumah Sakit Islam Aisyiyah yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan RST.
Di Rumah Sakit Islam Aisyiyah ternyata sama saja. Ruang UGD di RSI juga sudah penuh dan tabung oksigen sudah terpakai semua. Kami disarankan untuk membawa ibu ke RS Syaiful Anwar (RSSA Malang) karena di sana tersedia lebih banyak bed dan tabung oksigen.
Setelah tiba di RSSA, ibu menjalani screening. Suhu tubuhnya turun drastis hingga 30 derajat dengan tingkat saturasi oksigen 70 persen. Akhirnya ibu dibawa ke UGD in Covid.
Ternyata, di UGD in Covid RSSA juga sudah penuh dengan pasien. Untunglah tersedia satu bed untuk merawat ibu.
Namun karena tabung oksigennya sudah terpakai semua, kami pun terpaksa memakai tabung oksigen sendiri yang isinya sudah hampir habis. Setelah beberapa lama, perawat mengganti tabung oksigen kami yang sudah habis dengan tabung oksigen rumah sakit.