Bagi penduduk desa, ngopi adalah keharusan, dan menjamu tamu dengan minuman kopi hangat adalah kewajiban. Meski begitu, jarang sekali atau hampir belum pernah saya mendapati orang-orang desa minum kopi instan!
Ya, masyarakat desa lebih memilih produk kopi lokal milik UMKM di daerah mereka. Bahkan di beberapa sentra perkebunan kopi, pekarangan rumah warga hampir penuh ditanami kopi. Bagi yang tidak punya lahan kebun kopi, hasil dari tanaman kopi yang ada di halaman rumah mereka biasanya digunakan untuk konsumsi sendiri.
Tidak seperti hasil panen dari perkebunan yang disortir untuk memilih buah kopi dengan kualitas terbaik, hasil panen tanaman kopi yang ada di halaman rumah dinikmati apa adanya. Mereka menggunakan buah kopi jenis Bang Jo untuk membuat kopi bubuk.
Bang Jo (Abang Ijo/merah hijau) adalah sebutan biji kopi yang berasal dari buah kopi petik merah (matang) dan buah kopi hijau yang masih mentah.
Dalam kasta dunia perkopian, Bang Jo menempati urutan terbawah. Bang Jo seakan mewakili kaum proletar. Campur aduk, tak peduli merah, hijau, biji utuh, biji pecahan. Semua bercampur jadi satu bubuk kopi. Biji kopi campuran tak jelas inilah yang kemudian banyak dinikmati masyarakat kelas bawah.
Penderitaan Bang Jo tak cukup hanya itu. Kadang ada yang tega mencampurnya dengan biji jagung. Jadilah Bang Jo bermetamorfosis menjadi Singo (singa), yakni Kopi Siji Jagung Songo (kopi satu kilo, jagung sembilan kilo). Selain jagung, Bang Jo sering dinikahkan dengan beras sehingga menjadi kopi Giras (kopi legi campur beras).
Seperti itulah cara warga desa menggerakkan roda perekonomian sekitar mereka. Bagi mereka, membuat kopi racikan sendiri, atau membeli produk milik tetangga yang memproduksi kopi lebih bermanfaat, dan sekaligus mempererat silaturahmi di antara warga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H