Usai mengaji, putri saya yang duduk di bangku SMA kelas 1 mengirim pesan WhatsApp. Isinya sebuah tautan berjudul Jangan Marahi Anak Karena Nilai Jelek, itu Bukan Penentu Kesuksesannya.
Kemudian di bawahnya dia menyertakan screenshot nilai e-rapor yang sudah dibagikan sekolahnya.
Membaca pesannya, saya tersenyum sendiri. Saya datangi kamarnya dan saya lihat dia tersenyum ketika melihat saya.
"Bapak nggak marah. Kamu sekarang kan sudah besar, sudah bisa menilai sendiri kemampuanmu. Kamu juga sudah mengerti arti tanggung jawab. Selama kamu bisa menjaga diri dan menjaga kepercayaan yang diberikan Bapak sama Ibu, apa pun nilai rapor yang kamu terima Bapak tidak marah."
Setelah itu saya memeluk dan mencium keningnya.
Nilai rapor anak saya tidak buruk, rata-rata B. Sekedar informasi, khusus untuk nilai rapor SMA tahun ini memakai sistem kredit semester (SKS). Artinya, tidak ada sistem kenaikan kelas. Setiap siswa diharapkan bisa menuntaskan mata pelajaran di masing-masing semester. Di akhir semester 5, baru ada Nominasi Kelulusan dengan syarat semua mata pelajaran dari semester 1-5 sudah tuntas. Bila ada yang belum tuntas, maka siswa tersebut harus menambah semester untuk menuntaskannya. Itu artinya siswa tersebut tidak bisa lulus pada tahun yang semestinya.Â
Sejak anak saya duduk di SMP, saya selalu menekankan pada anak saya sekaligus diri saya sendiri, bahwa nilai akademik di rapor bukan segalanya. Saya tidak pernah memarahi anak hanya karena nilai rapornya jelek. Â
Di waktu penerimaan raport, hampir semua orangtua siswa membicarakan prestasi akademik anak-anaknya. Ranking berapa, nilai rata-ratanya berapa, naik kelas atau tidak.
Tidak ada yang salah dengan hal ini. Prestasi akademik merupakan bagian dari pencapaian anak-anak di sekolah mereka.
Tapi, di luar prestasi akademik siswa, sebenarnya ada pencapaian prestasi yang lebih sulit diraih, lebih sulit diukur, dan nilainya sangat mahal bagi masa depan anak-anak kita. Apakah prestasi yang jauh lebih penting ini?