Pokoknya, para Kompasianer senior ini, yang pengalaman menulisnya tidak perlu diragukan lagi merasa tidak nyaman dengan kebijakan baru Kompasiana.
"Katanya pingin membangun rumah sehat, tapi malah membuat tidak sehat penghuninya," kata seorang teman.
Sebab utama kekecewaan mereka adalah Kompasiana tidak transparan dalam menginformasikan kesalahan, yang membuat artikel dihapus atau dikarantina terlebih dahulu. Hanya ada notifikasi, tanpa kejelasan informasi.
"Kita kayak lagi di-ghosting sama Kompasiana, Mas. Mbok iya kasih tahu di mana letak kesalahannya, apa kata kunci yang dilanggar. Kalau transparan kan enak, kita bisa memperbaiki biar bisa ditayangkan ulang," keluh seorang teman lewat jaringan pribadi.
"Jadi malas nulis di Kompasiana. Udah capek-capek memikirkan ide, eh tiba-tiba artikelnya dihapus atau penayangannya ditunda beberapa jam kemudian."
Tapi, ada juga beberapa Kompasianer yang bersikap sebaliknya. Alih-alih tidak semangat menulis lagi di Kompasiana, mereka justru terlecut dengan perlakuan tidak adil ini.
"Satu artikel diblokir, akan kutulis 10 artikel lagi," kata seorang teman yang enggan tidak mau disebutkan namanya.
"Bila perlu, setiap satu jam sekali aku menayangkan tulisan," kata teman yang satu lagi.
Nggak tahu ya, apakah tekadnya itu dipenuhi atau tidak. Tapi, setidaknya aku menghargai tekad dan semangat itu. Dan, memang seharusnya kita juga bersikap yang sama.
Kebijakan sensor dan karantina yang diberlakukan admin Kompasiana memang hak prerogratif mereka. Sebagai pengguna, kita harus sepenuhnya tunduk dan patuh.
Tapi, tidak adanya informasi dan transparansi kesalahan apa yang dilanggar Kompasianer sungguh patut disayangkan. Sikap meng-ghosting ini seolah menyepelekan proses kreatif dan hasil karya Kompasianer.