Terlepas dari kekesalan dan kejengkelan saya, jawaban redaksi itu ada benarnya. Bagaimana orang bisa meminta izin kalau mereka tidak tahu bagaimana dan ke mana menghubungi saya?
Sejak saat itu, saya lalu menambahkan alamat email di halaman profil Kompasiana. Dengan begitu, saya harap tidak ada lagi alasan yang sama, bahwa mereka tidak tahu bagaimana menghubungi saya.
Ternyata, apa yang saya lakukan itu benar-benar langkah jitu mengurangi pencurian artikel. Beberapa orang mengirim email ke saya. Ada yang meminta izin untuk menayangkan ulang artikel saya di media mereka. Â
Saya pribadi sih tidak keberatan tulisan saya dicomot, dibagikan ulang, dikutip, atau diplagiasi sekalipun. Bagi saya, apa yang saya tulis adalah salah satu ladang pahala. Semakin banyak tulisan saya dibaca orang, semakin banyak pula pahala yang menanti selama tulisan itu membawa manfaat bagi yang membacanya.
Setiap orang berhak untuk menjiplak ide orang lain, begitu pula dalam dunia penulisan. Hanya saja, ada etika dan kaidah tersendiri jika kita mengutip, mengambil sebagian atau menyalin ulang sebuah tulisan. Yakni dengan menyebutkan referensi/sumbernya dengan jelas, dan selama penulis itu bisa dihubungi harus ada izin dari yang bersangkutan.
Sejauh kita masih bisa mencapai asal munculnya sebuah perkataan atau perbuatan seseorang, kebiasaan merunut penukilan dari mana datangnya perkataan, perbuatan atau ide dasar tersebut adalah wujud pelestarian yang sangat baik.
Kasus pencurian artikel yang banyak dilakukan media atas tulisan-tulisan blogger menunjukkan bangsa kita tak hanya rendah literasi, tapi juga miskin kejujuran ilmiah.Â
Dalam ajaran Islam, kejujuran ilmiah dijunjung tinggi oleh para ulama dan cendekiawan muslim jaman dulu, hingga pada akhirnya menjadi budaya atau tradisi keilmuan mereka.
Rendahnya literasi dan miskinnya kejujuran ilmiah membuat kita permisif terhadap praktik plagiarisme di negara kita sehingga bisa tumbuh subur.Â