Sulit rasanya untuk bisa adil sejak dalam pikiran, terutama jika itu menyangkut sosok HRS dan organisasi yang dipimpinnya, Front Pembela Islam. Apapun pembelaan yang disampaikan HRS dan FPI, bagi pemerintah mereka sudah divonis bersalah. Saya tidak sedang membela HRS, tapi marilah kita sejenak memandang adil pada kasus HRS.
Entah apa yang ditakuti pemerintah dari sosok HRS ini. Begitu getolnya aparat kepolisian memburu HRS, hingga dicari-cari kesalahannya.
Sejak rencana kepulangannya, pemerintah sudah langsung membuat opini yang menyudutkan HRS. Awalnya, pemerintah mengaku tidak khawatir dengan kepulangan HRS ke tanah air.
Namun, begitu tahu pengikut dan simpatisan HRS yang menjemputnya di bandara Soekarno-Hatta membludak hingga mengakibatkan kemacetan parah, pemerintah seakan dilanda gelombang kekhawatiran yang sangat besar.
Naras-narasi yang menyudutkan HRS dan FPI mulai disebar di berbagai media. Sampai-sampai gelar Habib yang disandang HRS pun digugat, dipertanyakan kebenarannya. Video-video lama ceramah HRS dan kegiatan FPI diunggah kembali oleh buzzer-buzzer pro pemerintah. Bahkan inisialnya pun diubah. Dari yang terbiasa HRS menjadi MRS (Muhammad Rizieq Shihab).Â
Puncaknya, pemerintah menuduh HRS melanggar UU Kekarantinaan karena ada kerumunan massa saat melaksanakan akad nikah anaknya sekaligus peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan. HRS dituding mengabaikan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah.
Sejauh itu, HRS berusaha untuk tetap patuh. Pada 15 November 2020, HRS patuh membayar denda 50 juta rupiah akibat pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukannya.
Denda ini tercatat sebagai denda pelanggaran protokol kesehatan terbesar yang pernah dibayar individu selama masa pandemi Covid-19. Bandingkan dengan dengan 10 juta yang harus dibayar pihak manajemen McDonald Sarinah, atau denda-denda lain yang hanya berkisar jutaan rupiah saja.
Namun, ini rupanya belum dapat memuaskan pihak kepolisian. Buktinya, HRS dan 5 pengurus FPI hari ini (10/12) ditetapkan sebagai tersangka kasus kerumunan massa di saat pandemi Covid-19.
"Selasa kemarin sekitar tanggal 8 Desember penyidik Polda Metro Jaya telah melakukan gelar perkara tentang tindak pidana kekarantinaan kesehatan dan juga pelanggaran di Pasal 160 KUHP pada saat acara akad nikah putri MRS," jelasnya Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus.