Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Malukah Kita dengan Difabel Seperti Mereka?

6 Desember 2020   19:37 Diperbarui: 6 Desember 2020   20:04 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang tetangga saya mempunyai anak yang menderita down syndrome, yakni seorang yang mengalami kondisi keterbelakangan fisik dan mental.

Tiap pagi, si anak yang saya taksir berumur sekitar 14 tahun ini, berjalan keliling gang-gang di kampung sambil menggeret sepotong kayu bambu. Kadang-kadang dia ngomong sendiri, yang karena sindromnya itu omongannya menjadi tidak jelas didengar.

Suatu sore, saya mendapat kejutan ketika berjamaah salat maghrib di masjid. Anak yang menderita down syndrome tampak ikut salat berjamaah. Pakaiannya putih rapi, dengan sorban putih yang disampirkan di lehernya.

Usai salat, anak tersebut duduk bersila, tenang dengan muka ditundukkan. Tak nampak tanda-tanda bahwa anak yang duduk bersila tepat di depan saya itu menderita down syndrome. Penampilannya saat ikut salat maghrib berjamaah tadi benar-benar berbeda 180 derajat dengan penampilan sehari-harinya. Iseng saya menengok sekeliling masjid, tidak nampak bapak dari si anak tersebut ikut berjamaah.

Tidakkah kita malu?

Seorang anak, dengan kelainan fisik dan mental berusaha untuk ikut salat berjamaah di Masjid. Dan Allah menjadikan penampilan anak tersebut jauh berbeda dengan penampilan sehari-harinya.

Sementara sebagian dari kita, masih terasa berat untuk melangkahkan kaki ke masjid saat adzan salat lima waktu terdengar. Padahal kita dikaruniai kesehatan fisik dan mental yang lebih baik.

Pelajaran ketakwaan yang sama melalui orang difabel sebelumnya juga pernah saya peroleh sewaktu istirahat salat dhuhur di Masjid Agung Kota Batu. Saat melangkahkan kaki masuk ke ruangan dalam masjid, ada sebuah pemandangan yang membuat langkah saya terhenti seketika. Di sudut ruangan dekat jendela, seorang bapak tua terlihat seperti tertidur membujur miring di lantai berkarpet merah. Namun, gerakan selanjutnya dari sang bapak itu baru menyadarkan saya, sekaligus membuat hati saya langsung tersentak.

Bapak tua itu ternyata tidak sedang tidur. Tubuhnya yang membujur tersebut merupakan bentuk dari gerakan sujud. Beliau memang tidak dapat sujud dengan sempurna layaknya orang normal seperti saya.

Kakinya yang sebelah kiri adalah kaki palsu sebatas lutut. Sementara tangannya yang sebelah kiri juga tidak dapat berfungsi sempurna. Sehingga ketika sujud, beliau tidak dapat menopang lutut dan lengannya. Dipilihnya gerakan dan sikap yang termudah, yakni tidur miring.

Usai menunaikan salat, saya melihat bapak tua tadi sudah duduk membujurkan kakinya. Termenung khusyuk, seakan sedang berbincang kepada Rabb-nya.

Dua pelajaran yang disampaikan Allah melalui penyandang disabilitas ini benar-benar menyadarkan diri saya dalam hal beribadah yang masih jauh dari sempurna. Dalam Islam, salat adalah ibadah wajib yang tak bisa ditawar.

Tidak ada klausul syarat dan ketentuan yang berlaku. Ibadah-ibadah yang lain boleh ditunda atau diganti, tapi salat tidak dapat ditunda apalagi diganti. Wajibnya salat berlaku selama hayat masih dikandung badan, selama ruh kita masih bersemayam di tubuh dan selama jiwa kita masih sehat dan sadar. Tak peduli kita sakit, atau menderita cacat tubuh, salat tetap ibadah yang wajib ditunaikan. Tak bisa menggerakkan badan, kita bisa salat dengan kedipan mata. Tak bisa mengedip, kita bisa salat dalam hati.

Di luar pelajaran ketakwaan yang saya peroleh, ada satu hal lagi yang menggelisahkan hati. Adakah masjid-masjid di sekitar kita menyediakan fasilitas untuk difabel?

Kita sudah tahu jawabannya: jarang sekali. Kalaupun ada, paling banter hanya berupa kursi untuk para orangtua yang sudah tidak kuat berdiri. Tak ada jalan khusus untuk orang yang berkursi roda. Tak ada pegangan khusus di tempat wudhu bagi tuna netra.

Padahal, masjid adalah rumah Allah. Siapapun boleh dan berhak memasukinya untuk beribadah, sekalipun dia cacat fisik.

Karena tidak ada fasilitas, muslim difabel seperti mendapat diskriminasi. Mereka seolah sudah dicabut haknya untuk dapat beribadah di rumah Allah.

Begitu pula, kehadiran mereka di masjid seringkali dipinggirkan oleh muslim yang lain. Seperti yang saya lihat pada anak down syndrome dan bapak tua yang cacat itu. 

Padahal, kehadiran mereka bisa menjadi pelajaran ketakwaan yang sangat berharga. Bandingkan dengan kita yang masih memiliki tubuh sempurna tiada cacat apapun. Kita seringkali membuat pembenaran pribadi untuk mengabaikan perintah salat. Sakit sedikit, kita sudah merasa malas. Sibuk sedikit, kita langsung mencari alasan untuk menunda salat tepat waktu.

Tidakkah kita malu dengan difabel seperti mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun