Tuhan sudah menyediakan banyak sekali cermin di sekitar kita untuk berkaca. Memantulkan setiap sikap dan perbuatan, agar kita tahu mana yang perlu dibuang dan mana yang perlu kita perbaiki demi kebaikan diri kita sendiri.
Seperti pada suatu siang ketika aku beristirahat sejenak di rerimbunan pohon di tempat parkir sebuah pasar tradisional. Di sebelahnya terdapat warung makan kecil. Di warung tersebut, penarik becak, pedagang, penjaga parkir dan buruh bangunan kulihat duduk nongkrong di bangku warung.
Beberapa dari mereka membeli nasi bungkus atau minta dibuatkan mi instan. Tapi, ada satu pembeli menarik perhatianku. Dia tidak membeli nasi bungkus atau mi instan seperti lainnya, melainkan membeli sebungkus lontong.
Tidak ada gorengan, tidak ada lauk pauk atau sayuran. Bahkan sekedar kuah mi instan pun tidak tersaji di depannya. Cuma sebungkus lontong dan sejumput garam di lepek kecil.
Dibukanya sebagian daun pisang yan membungkus lontong tersebut pelan-pelan, lalu dicelupkannya ujung lontong yang sudah terbuka pada lepek berisi garam. Lantas, lontong yang sudah dicelupi garam itu dimakannya dengan tambahan satu buah lombok. Dikunyahnya perlahan seakan dia menikmati makanan mewah.
Selesai satu gigitan, dibukanya bungkus daun pisang di bagian bawah dan ditotolkannya bagian lontong yang sudah terbuka ke lepek garam, lalu dia memakannya dengan lombok. Begitu terus sampai lontong satu bungkus itu habis tak tersisa. Setelah makan, dia pun minum satu gelas air mineral.
Coba terka, berapa harga satu bungkus lontong dan satu gelas air mineral?
Cuma seribu lima ratus rupiah.
Dengan memakan sebungkus lontong, ditambah garam dan lombok dan segelas air mineral, orang itu bisa berhemat dibanding dia membeli nasi bungkus atau mi instan seharga lima ribu rupiah.
Membuang Makanan Sama Dengan Menggoreskan Luka di Hati Petani
Di saat ada orang lain berhemat dan tak mampu membeli makanan layak, banyak di antara kita malah sering membuang-buang makanan dan berlebihan dalam makanan. Kita seperti orang yang tak tahu terima kasih. Membuang makanan sama dengan menggoreskan luka di hati petani dan orang-orang yang sudah bekerja keras menyediakan bahan makanan kita.