Sejak jaman Soeharto saya dilahirkan hingga hari ini, belum pernah saya merasakan suasana perpecahan yang begitu nyata.
Apa sebabnya? Di satu sisi ada kelompok yang selalu menjilat penguasa, membenarkan setiap kebijakannya. Kelompok yang sama mendewakan orang-orang tertentu di barisan penguasa, seakan orang-orang yang mereka junjung itu bagaikan air suci nan mensucikan. Di sisi lain ada kelompok yang selalu mengritik berlebihan, hingga kritik mereka kadang berubah menjadi kebencian.
Kondisi ini diperparah oleh sikap penguasa sendiri yang selalu membanding-bandingkan hasil kerja mereka dengan yang terdahulu. Seakan proses dan hasil kerja mereka lah yang paling benar, sementara yang terdahulu selalu salah.Â
Tak hanya itu, penguasa dan para pendukungnya gemar mengaku cipta (mengklaim) sebuah hasil kerja. Tanpa pernah menghargai proses yang sudah dikerjakan pendahulunya.
Penguasa dan pendukungnya juga selalu berusaha menciptakan imajinasi, bahwa merekalah yang ditakdirkan sebagai Ratu Adil, yang mampu menyejahterakan rakyat. Tanpa pernah mau bercermin bahwa tak sedikit kebijakan-kebijakan mereka justru ada yang mencederai harapan rakyat.
Padahal kita semua tahu, penguasa tersebut tidak mutlak dipilih oleh seluruh rakyat indonesia. Hanya separuh lebih sedikit saja yang memilihnya.
Menghadapi dua kutub masyarakat yang berbeda, penguasa bukannya merangkul separuh kurang sedikit dari rakyat yang tidak memilihnya. Penguasa justru membuat jurang pemisah yang lebar, dengan memasukkan rakyat dalam dua gelembung terpisah: Yang mendukung penguasa adalah ORANG BAIK; sementara yang tidak mau mendukung penguasa adalah ORANG JAHAT.
Banyak orang pintar di kubu pemerintah, banyak pula orang pintar di kubu yang berseberangan. Sayangnya, mereka terlanjur dipisahkan oleh sebuah kalimat "Orang Baik berkumpul dengan orang baik".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H