Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Rakyat Diprediksi Sulit Menang Bila Menggugat UU Cipta Kerja di MK

21 Oktober 2020   20:52 Diperbarui: 21 Oktober 2020   20:53 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada 3 indikator yang membuat rakyat sulit menang bila menggugat UU Cipta Kerja di MK (foto: Antara Foto/Hafidz Mubarak)

Di saat mahasiswa dan beberapa elemen organisasi buruh masih menolak UU Cipta Kerja lewat jalan demonstrasi, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menerima dua permohonan uji materi.

"Sudah ada dua permohonan diajukan, tidak tertutup kemungkinan, jumlah permohonan bertambah," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso, Rabu (14/10/2020).

Permohonan uji materi yang pertama diajukan dua orang pegawai kontrak atas nama Dewa Putu Reza dan Ayu Putri. Keduanya menyoal Pasal 59; Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 78 ayat (1) huruf b; dan Pasal 79 ayat (2) huruf b klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Pasal-pasal yang dipersoalkan tersebut terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pesangon, dan pengupahan yang layak.

Dalam gugatannya, Dewa Putu Reza dan Ayu Putri berpendapat pasal-pasal yang digugat tersebut mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil bagi para pekerja. Seperti aturan mengenai penghapusan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). 

Dengan meniadakan batas waktu PKWT, negara telah menghalangi pekerja kontrak untuk dapat menjadi pekerja tetap yang berhak atas pemberian pesangon, dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. 

Karena itu, para pemohon meminta agar MK menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Gugatan terhadap pasal yang sama juga diajukan Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS) yang diwakili Ketua Umum Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafiz. 

Dalam gugatannya, DPP FSPS menilai berubahnya ketentuan tersebut merugikan hak buruh. Untuk itu, DPP FSPS meminta MK agar pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dapat 'Hadiah' Dari Pemerintah, Independensi MK Diragukan

Uji materi di Mahkamah Konstitusi menjadi jalan terakhir bagi pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja. Menggelar aksi demonstrasi jelas bukan pilihan yang bijak mengingat negara kita masih dibayangi pandemi Covid-19, dan cara ini juga rawan menimbulkan konflik horizontal.

Meski begitu, bila rakyat menggugat UU Cipta Kerja ke Mahkaham Konstitusi, rakyat diprediksi sulit menang. Menurut pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, independensi Mahkamah Konstitusi saat ini diragukan menyusul adanya 'hadiah' dari pemerintah.

'Hadiah' yang dimaksud berupa pengesahan revisi UU MK menjadi UU pada 1 September 2020 lalu. Salah satu aturan dari revisi UU MK adalah memperpanjang masa jabatan semua hakim MK yang saat ini menjabat hingga usia 70 tahun.

"MK menerima 'hadiah' dari pihak yang berperkara (pembuat UU) berupa perpanjangan usia hakim konstitusi. Jadi, ini sarat konflik kepentingan," kata Feri dikutip dari hukumonline.

Tak hanya itu, pihak yang berperkara, dalam hal ini diwakili Presiden Jokowi secara tidak langsung pernah menyatakan meminta dukungan MK dalam pembentukan UU Omnibus Law saat menyampaikan pidatonya di Gedung MK pada Januari 2020 lalu.

Presiden Jokowi memang tidak meminta secara langsung, tapi pernyataan yang disampaikannya dalam acara "Penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi Tahun 2019" yang dihadiri Ketua MK Anwar Usman beserta para hakim konstitusi; Ketua DPR Puan Maharani, dan Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali menyiratkan ppermintaan dukungan' terhadap pengesahan UU Cipta Kerja.

Faktor ketiga yang membuat penggugat UU Cipta Kerja sulit menang di MK adalah terkait dengan susunan hakim MK itu sendiri. Dari sembilan hakim MK, 3 hakim konstitusi dipilih presiden, 3 hakim konstitusi dipilih DPR, dan 3 hakim konstitusi dipilih MA.

"Jadi, menurut saya, peluang permohonan uji materi UU Cipta Kerja dikabulkan sangat tipis. Meskipun diduga proses pembuatan RUU Cipta Kerja ini dinilai cacat formil," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini. Dugaan cacat formil dari UU Cipta Kerja menguat karena saat ini beredar 6 versi naskah yang jumlah halamannya berbeda.

Terbukti Cacat Formil, UU Cipta Kerja Bisa Dibatalkan MK

Masalah cacat formil dari UU Cipta Kerja sebelumnya juga disinggung Menkopolhukam Mahfud MD, yang notabene pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahfud, MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja jika benar-benar terbukti cacat formil dalam proses pembuatan dan pengesahannya.

"MK waktu zaman saya pernah membatalkan seluruh UU Badan Hukum Pendidikan, itu hanya diuji tiga pasal. Tapi, karena formalitas dan jantungnya salah, maka dibatalkan semua satu Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. 

Zaman Pak Jimly Asshiddiqie juga begitu UU KKN, dibatalkan. Itu bisa saja MK melakukannya," kata Mahfud dalam video YouTube Karni Ilyas Club, Senin (19/10/2020) malam.

Mahfud sendiri mengaku memiliki 6 naskah UU Cipta Kerja yang berbeda. Menurut Mahfud, dari eksekutif atau pemerintah ada empat versi. Begitu beredar di masyarakat, kata dia, banyak diprotes sehingga diubah versi pemerintah sebelum masuk ke DPR.

"Sesudah masuk ke DPR juga berubah pasal sekian, memang berubah terus. Memang yang agak serius harus dijawab DPR, sesudah palu diketok itu apa benar berubah atau hanya soal teknis," jelas dia.

Mahfud berharap DPR bisa menjelaskan perubahan naskah ini kepada rakyat dengan sejelas-jelasnya. Karena bila sampai perubahan itu menyentuh substansi, atau ada pasal-pasal yang setelah disahkan berubah, baik dihilangkan atau ditambahkan, maka UU Cipta Kerja dinilai cacat formal.

"Kalau terpaksa juga benar terjadi itu, kan berarti cacat formal. Kalau cacat formal, MK bisa membatalkan," ujarnya.

Menanggapi keraguan masyarakat atas independensi MK, juru bicara MK Fajar Laksono mempersilahkan publik untuk menilai karena setiap proses persidangan di MK sifatnya terbuka. 

Namun, hendaknya publik tidak membuat asumsi yang terlalu dini karena berperkara di MK bukan untuk mencari kemenangan, namun mencari keadilan sekalipun yang diputuskan MK mungkin tak seperti harapan pemohon atau harapan pembentuk UU.

"Mari ikuti dan kawal saja prosesnya, tanpa mengurangi rasa hormat, penting dipertimbangkan semua pihak untuk tidak murah membuat pernyataan yang cenderung insinuatif dan terkesan menafikkan atau mendahului proses dan hasil akhir persidangan," katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun