Salah satu alasan utama pemerintah bersama DPR RI mengeluarkan RUU Cipta Kerja adalah untuk penyederhanaan peraturan (regulasi). Dengan menggabungkan beberapa undang-undang yang berbeda dalam satu bendel undang-undang baru (omnibus law), pemerintah bisa menarik minta investor yang berujung pada terciptanya lapangan kerja baru karena regulasi bisnis dipermudah.
RUU Cipta Kerja Melahirkan hyper-regulated
Faktanya, RUU Cipta Kerja malah harus membuat pemerintah bekerja keras. RUU Cipta Kerja mengharuskan pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunan (derivatife rule) untuk memperjelas atau menegaskan aturan pokok yang tercantum dalam Omnibus Law. Presiden Jokowi sendiri saat memberi keterangan pers terkait aksi demonstrasi menolak Omnibus Law mengakui hal ini.
"Saya baru tegaskan bahwa UU Ciptaker memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Jadi setelah ini akan muncul peraturan pemerintah, perpres yang akan kita selesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan, kita mengundang masukan masyarakat dan masih terbuka usulan dari daerah," kata Jokowi dalam siaran langsung di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (9/10) petang.
Dalam Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja yang diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tim penyusun menyimpulkan adanya kontradiksi dari RUU Cipta Kerja (file pdf bisa diunduh di sini).
RUU ini dibuat dengan maksud untuk mengatasi permasalahan over-regulated dan over-lapping pengaturan bidang terkait pembangunan dan investasi, namun di sisi lain, RUU Cipta Kerja mensyaratkan adanya sekitar 500 aturan turunan sehingga berpotensi melahirkan hyper-regulated dan pengaturan yang jauh lebih kompleks.
Terkait banyaknya aturan turunan, seperti biasa Presiden Jokowi cenderung meremehkan masalah dengan mengatakan aturan turunan dari RUU Cipta Kerja, baik berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres) akan selesai paling lambat 3 bulan setelah diundangkan. Padahal, mengingat banyaknya aturan turunan yang harus dibuat, waktu 3 bulan terlalu singkat.
Apalagi mengingat hingga saat ini masih terjadi aksi penolakan oleh berbagai elemen masyarakat. Belum lagi nanti apabila RUU Cipta Kerja yang sudah (terlanjur) disahkan DPR ini digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Paradigma RUU Cipta Kerja yang Memihak Penanam Modal
Selain hyper-regulated, tim penyusun dari Fakultas Hukum UGM juga memberi catatan penting dari paradigma RUU Cipta Kerja yang dinilai hanya mementingkan penanam modal. Padahal, salah satu asas dari RUU ini adalah pemerataan hak (RUU Ciptaker Bab 2 pasal 2).
RUU Cipta Kerja mendasarkan argumentasi akademisnya dari pendekatan pembangunan yang semata-mata dimaknai di ranah ekonomi. Dengan cara pandang pembangunan ekonomi, penanam modal dianggap sebagai agen utama pembangunan. Sebagai agen utama, penanam modal mendapatkan perlakukan istimewa dengan kemudahan-kemudahan dan insentif yang disediakan melalui peraturan (lihat bidang kemudahan investasi).Â
Dengan pendekatan pembangunan ekonomi semata, Negara yang cenderung bertugas untuk memastikan target-target pertumbungan ekonomi terpenuhi, akan menjadi abai terhadap kebutuhan dan aspirasi kelompok sosial lainnya. Pelaku usaha dipersempit maknanya sebatas pada mereka yang memiliki modal semata, bukan kelompok-kelompok yang mendukung jalannya roda perekonomian (seperti pekerja laki dan perempuan atau masyarakat sekitar usaha). Bahkan kontribusi kelompok-kelompok ini dipinggirkan dan dianggap tidak penting dalam kacamata RUU Cipta Kerja (lihat pembahasan dalam bidang ketenagakerjaan dan izin berusaha).