Masalah pertama muncul saat draf aturan awal sebanyak 1000 halaman dibuka ke publik usai presiden mengirimkan surat disertai naskah akademik dan draf UU pada 7 Februari 2020. Draf yang semula berjudul Cipta Lapangan Kerja diganti menjadi Cipta kerja demi menghindari akronim negatif 'Cilaka'.
Selain perubahan judul, publik juga menyoroti adanya klausul baru bahwa pemerintah pusat bisa mengubah undang-undang di luar wewenang peraturan pengganti perundang-undangan (perppu) dan tak wajib mengantongi persetujuan DPR RI.Â
Klausul yang memberi kewenangan luas kepada pemerintah yang mengabaikan fungsi DPR ini langsung memicu kehebohan dan penolakan dari publik. Menanggapi kehebohan ini, pemerintah dan DPR satu suara beralasan 'salah ketik', hingga kemudian usulan aturan baru itu dihapus dari draf.
Bukan sekali ini pemerintah dan DPR menyusun Undang-undang secara kilat hingga mengakibatkan 'salah ketik'. Saat menyusun UU KPK, ada aturan usia minimal komisioner 50 tahun. Padahal salah satu pimpinan baru berusia 45 tahun. Dengan alasan 'salah ketik', aturan itu kemudian direvisi.
Proses Kilat dan Miskin Komunikasi, Sumber Penolakan Omnibus Law
Penolakan terhadap Omnibus Law sebenarnya terjadi karena kekecewaan publik terhadap proses penyusunannya dan miskinnya komunikasi pemerintah dalam menyosialisasikan RUU tersebut. Sejak awal draf itu dipublikasikan, sudah banyak elemen masyarakat yang menolak beberapa poin tertentu, terutama yang terkait dengan nasib buruh.
Selain itu, proses pembahasan dan pengesahan yang terkesan sangat kilat akhirnya memunculkan prasangka negatif, bahwa pemerintah dan DPR RI punya kepentingan tertentu atas terbitnya Omnibus Law.
Semula, Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020 - 2021 yang membahas Omnibus Law akan digelar Kamis 8 Oktober 2020, sesuai dengan jadwal. Namun, mendadak DPR menggelarnya lebih cepat, berlangsung Senin 5 Oktober 2020.
"Orang tidak akan sepakat pada satu hal kecuali mereka memiliki kepentingan yang sama. Nah, kepentingan yang sama itu menurut saya adalah kepentingan ekonomi politik di kalangan elite oligarki yang ingin agar kepentingan ekonomi politiknya bisa terwujud," jelas Wijayanto, Dosen Fisipol Universitas Diponegoro.Â
Sementara pemerintah berdalih urgensi terbitnya Omnibus Law agar Indonesia bisa keluar dari status negara berpenghasilan menengah.
"Bapak Joko Widodo dalam pelantikan presiden terpilih periode 2019 - 2024 pada 20 Oktober 2019 lalu telah menyampaikan kita punya potensi untuk dapat keluar dari jebakan penghasilan menengah," kata Airlangga
"Undang-undang tersebut adalah instrumen untuk penyederhanaan dan peningkatan aktivitas birokrasi. Dan Alhamdulillah sore ini (5/10) undang-undang itu diketok," kata dia.Â